Sabtu, 01 Agustus 2015

BUDAYA DAN TRADISI PERNIKAHAN SUKU OSING

Budaya dan  tradisi pernikahan Suku Osing Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi adalah diselenggarakannya tradisi arak-arakan pengantin. Pengantin lelaki diarak oleh keluarga dan famili sambil membawa saserahan. Unik sekali, karena yang ikut arak-arakan bukan hanya keluarga pengantin, melainkan juga mengusung perbekalan berupa bantal, guling yang diikat dalam tikar, berikut alat-alat masak. Tak ketinggalan ayam, sendok sayur (bahasa Osingnya irus—Red), telur ayam kampung, kelapa, pisang, beras kuning dan alat makan sirih atau disebut wanci kinang
Dalam tradisi pernikahan Suku Osing, gaya busana pengantin banyak dipengaruhi oleh gaya Jawa, Madura, Bali, dan suku lain. Jadi, tidaklah terlalu unik. Yang menarik justru tradisi mereka yang dikenal dengan istilah geredhoan, yaitu ajang mencari jodoh yang dilakukan oleh pemuda-pemudi suku tersebut. Tetapi pada prinsipnya mereka mengawali hidup baru dengan tradisi perkenalan, lalu ke tahap meminang dan terakhir baru ke pelaminan.
Prosesi awal dari pesta pernikahan pengantin Suku Osing. Yang sangat menarik, para tetangga yang dilewati arak-arakan itu juga bergabung ke dalam barisan. Alhasil, begitu sampai di rumah pengantin perempuan, arak-arakan bisa sepanjang gerbong kereta api. Setelah itu dilanjutkan dengan prosesi Perang Bangkat, yang sarat akan petuah dan nasihat dari para tetua adat.
Ketika itu dalam bentuk drama, pengantin pria (Raja) dan pengantin putri (Ratu) duduk dengan dipisahkan selembar kain putih. Masing-masing didampingi seorang dalang yang akan mengadu pusaka mereka. Dalang juga menjadi juru bicara atau membawakan pesan moral. Disebut Perang Bangkat, karena kedua dalang harus berperang dengan beradu argumen. Setelah itu, mereka sah sebagai suami-istri secara adat. Ini bukti bahwa Suku Osing sangat menjunjung tinggi nilai budaya para leluhur.
Di beberapa tempat dilakukan secara teratur, bahkan ada panitia penyelenggaranya. Tiap keluarga diminta menyiapkan tepung, beras, gula, dan bahan lain untuk membuat kue dan tumpeng, Bahan tersebut ditaruh di rumah gedek (berdinding bambu) dekat masjid. Sambil memasak, para pemudi di dalam bilik itu mengikuti salawat dan ceramah agama.
Sementara itu para lanceng (jejaka) membuat peralatan dan hiasan upacara di luar rumah. Sembari bekerja mereka mengintip kesibukan para gadis lewat lubang gedek. Jika menaksir, lanjut dengan acara ngobrol. Tapi mereka tidak bicara langsung melainkan dibatasi dengan sekat dinding dari bambu itu. Makin malam dilanjutkan dengan komunikasi lebih serius, yaitu meminta kesediaan perempuan menerima cintanya.

Apa tandanya? Si jejaka memasukkan batang lidi janur lewat lubang gedek. Jika si pemudi mematahkan ujung lidi, maka pertanda cintanya ditolak. Sebaliknya bila dibentuk bulatan kecil mirip daun waru berarti cintanya diterima. Kalau sudah begini, dilanjutkan dengan berbalas pantun. Esoknya, tumpeng dan kue basah seperti nagasari, onde-onde, pisang goreng, lemper, bikang, dan sate telur puyuh ditaruh dalam wadah persegi dari bambu. Di bagian tengahnya ditaruh batang pisang untuk menancapkan telur bertusuk sejumlah 99. Kemudian, dibawa ke masjid untuk dinikmati bersama-sama, sambil bersalawat.
(Adat, Budaya, Ciri Khas, upacara adat., Tradisi, )

0 komentar:

Posting Komentar