Rabu, 19 November 2014

BUDAYA DAN TRADISI MRETEKA MERNA/NGABEN TIKUS BALI




Budaya & tradisi upacara Mreteka Merana/Ngaben Tikus, sudah sering dilakukan oleh masyarakat Hindu di Kabupaten Tabanan, khususnya oleh krama subak di wilayah desa pekraman Bedha, desa Bongan , kecamatan Tabanan, kabupaten Tabanan. Mengingat wilayah di desa ini sebagian besar penduduknya hidup dari bercocok tanam, khususnya padi. Sehingga upacara yang berhubungan dengan keselamatan dan kesuburan tanaman, khususnya padi, sudah sering dilaksanakan baik secara rutin seperti Masembuhan dan Nanggeluk Merana maupun tidak rutin (Nabgata Kala) seperti Ngalepeh dan Mreteka Merana.
Budaya & tradisi upacara Mreteka Merana/Ngaben bikul ini oleh beberapa subak di Bali belum memasyarakat sekali walaupun krama subak di wilayah desa pekraman Bedha sudah sering melakukannya, sehingga upacara ini dianggap sebagai Loka Dresta (kebiasaan setempat) apalagi upacara ini dilaksanakan ditempat suci yaitu di penataran Baleagung Pura Puseh Luhur Bedha, namun dilihat dari hasilnya setelah upacara ini dilaksanakan ternyata telah memberikanh bukti nyata bagi kehidupan para petani.
Mreteka Merana terdiri dari dua kata yaitu kata Mreteka dan kata Merana. Mreteka artinya mengupacarai, Merana artinya hama penyakit. Tujuan dari upacara ini adalah untuk menyucikan roh/atma hama penyakit supaya kembali ke asalnya sehingga tidak kembali menjelma ke bumi sebagai hama penyakit dan merusak segala jenis tanaman yang ada di bumi, khususnya tanaman padi. Pelaksanaan upacara ini sesuai dengan isi lontar (kitab) seperti lontar Sri Purana dan lontar Dharma Pemacula yang menyebutkan Kapreteka, samaluirnya mretekaning wong mati bener artinya diupacarai seperti mengupacarai orang mati. Oleh karena itu, pandangan masyarakat awam pada akhirnya mengkonotasikan upacara Mreteka Merana ini tergolong dalam upacara Pitra Yadnya (Ngaben Tikus) karena upacaranya seperti orang ngaben di Bali yang membawa Cuntaka (tidak suci). Pandangan seperti ini hendaknya perlu diluruskan. Untuk lebih jelasnya, bahwa upacara Mreteka Merana ini tergolong dalam upacara Bhuta Yadnya (mengupacarai sarwa prani) . Bhuta Yadnya adalah upacara yang tidak membawa cuntaka (tidak suci) . Untuk upacara Bhuta Yadnya ada bermacam-macam seperti memakai layang-layang (kulit binatang) ada yang ditanam ada binatang yang diselamkan di laut atau didanau, yang namanya mulang pekelem termasuk di upacarai seperti orang mati yang namanya mreteka merana.
Menurut Lontar Sri Purana dan Dharma Pemaculan, Preteka ring Bale Agung, gesengeng ring tepining samudra, “artinya upacarai di pura Bale Agung dan di bakar di tepi laut”, maka untuk di desa Pekraman Bedha upacara mreteka merana ini dilaksanakan dipenataran Bale Agung Pura Luhur Bedha dan pembakarannya dilasngungkan di pantai Yeh Gangga.
Di desa pekraman Bedha upacara seperti ini dilaksanakan apabila hama tikus dan hama lainnya telah menyebabkan gangguan yang sudah luar biasa dan tidak bisa dikendalikan. Budaya & tradisi upacara mreteka merana ini sudah lebih dari enam kali dilaksanakan. Pada tahun 2000 pernah dilaksanakan, setelah itu tanaman tidak pernah lagi terserang oleh hama penyakit sampai tahun 2008. Akan tetapi sejak tahun 2008 hama penyakit khususnya hama tikus lagi merajalela sampai tidak bisa dikendalikan. Itulah sebabnya berdasarkan kesepakatan krama subak di wilayah desa pekraman Bedha yang terdiri dari subak Gubug I, subak Gubug II, subak Sakeh, subak Tanah Pegat, subak Lanyah Wanasara, subak Bengkel dan Pangkung Tibah yang luasnya 900 Ha melaksanakan upacara Mreteka Merana.
Tata cara Pelaksanaan Upacara Mreteka Merana
Sesuai dengan isi lontar Kerti Cama dan lontar Purwana Yama Tatwa, tata cara pelaksanaannya sebagai berikut, memakai perwujudan badan wadan wadag (awak awakan) yang disebut sekah, terdiri dari belulang (kulit tikus) . Ini yang diupacarai (diringkes) yang pelaksanaannya seperti mengupacarai orang mati. Oleh karena dalam upacara ini kita menggunakan kulit tikus, sudah barang tentu tikus itu, sebelum upacara kita bunuh. Pembunuhan ini dibenarkan oleh lontar Purwana Yama Tatwa, asal pembunuhan itu tidak menggunakan senjata tajam (Haywa pinatian dening sanjata malandep, apan hilang gunaning sanjata ika, lan ngawe tuaken cuntaka ). Sebab ketajaman senjata itu akan hilang dan menyebabkan cuntaka (tidak suci) Pembunuhan supaya dilaksanakan dengan cara mengikat , dijepit dengan belatung dan duri duri kemudian dibuang ditengah laut.
Sesuai dengan isi lontar Usada Sawah , perwujudan badab wadag (awak awakan) sekah itu terdiri dari 5 buah karena tikus itu adalah penjelmaan ari-ari, darah , yeh nyom (air ketuban) dan lamad. Ari0ari, tikus kuning, darah tikus merah, air ketuban tikus hitam Lamas tikus putih dan ada lagi tikus mancawarna (berwarna lima) Kulit tikus itu yang dipakai perwujudan badan wadag (pengawak) .
Waktu Pelaksanaan Mreteka Merana
Sesuai dengan isi lontar Purwana Yama Tatwa, tata cara mengupacarai tikus itu adalah pada saat bertepatan dengan bulan tikus (kapreteka nangken rasi tikus). Kalau tidak diupacarai ia akan manjadi hama memakan tanaman, semua tanaman petani milik petani, oleh karena tikus dan hama lainnya, lahir dari manusia yang berprilaku yang tidak baik (wang apakrama). Cara mengupacarai sama seperti mengupacarai manusia yang sudah mati (Preteka luirning wong mati bener). Untuk di Desa Pekraman Bedha, upacara ini dilaksanakan apabila hama tikus dan lainnya sudah tidak bisa dikendalikan.
Sumber Merana (Sumber Hama)
Mengenai sumber (penangkan) merana tersebut telah diuraikan ke dalam beberapa lontar antara lain :
Lontar Babad Dewa
Dikisahkan babi peliharaan Batara Putrajaya denga rajanya bernama Babi Si Hati, yang dibunuh oleh Batari Danuh, bangkai bangkainya terbuang ke laut. Maka marahlah Batara Baruna (Dewa Laut) , lalu mengutuk bangkai bangkai babi itu. Tulang tulangnya menjadi tikus dan bulunya menjadi walang sangit. Kemudian oleh Batara Baruna memerintahkan untuk merusak tanaman padi di bumi.
Lontar Sri Purana Tatwa
Disini disebutkan, timbulnya hama penyakit itu bila umat hindu lupa melakukan upacara di pura Ulun Suwi, Masceti, Pura Kentel Gumi dan Watu Klotok. Beliau yang bersetana disini adalah penguasa hama. Di pura Masceti penguasa tikus, di pura Sakenan penguasa walang sangit.
Secara Mithologis kisah I Gudug Basur dan I Bawi Srenggi. Kedua duanya ingin mengawini Betari Sri. Maka marahlah suami beliau, Betara Rambut Sedana, kemudian dapat membunuh keduanya. I Gudug Basur menjelma menjadi garam dan ikan laut dan berjanjji akan selalu dekat dengan Betari Sri (berupa makanan ) sedangkan I Bawi Srenggi menjelma , ekornya menjadi tikus , darahnya candang api, napasnya candang aus, yang akan selalu merusak Betari Sri (tanaman padi)
Lontar Usada Sawah
Disini disebutkan bahwa raja tikus itu, berasal dari saudara empat (catur sanak).
- Ari-ari menjadi tikus kuning, berada di barat, milik Batara Mahadewa
- Darah menjadi tikus merah, berada di selatan milik Batara Brahma
- Yeh Nyom, menjadi tikus hitam, berada di utara, milik Betara Wisnu
- Lamas, menjadi tikus putih, berada di timur, milik Betara Iswara
- Adanya tikus mancawarna, sudah barang tentu berada di tengah, milik Sanghyang Siwa Geni
Serangkaian denga upacara mreteka merana, dimana dibuat perwujudan badan wadag sebanyak 5 buah, untuk disucikan setelah suci dikembalikan kepada pemiliknya masing masing menyatu kepada Hyang Pencipta, untuk kembali menjelma menjadi merana.
Lontar Sila Gama Catur Pataka
Lontar ini menyebutkan sumber penyebab merana akibat perbuatan manusia disebut “Apah Krama” yaitu perbuatan terlarang seperti perkawinan sumbang (gamia gamana) misalnya mengawini ibu kandung, adik kandung, dan lain sebagainya.
Lontar Purwana Yama Tatwa
Lontar ini menyebutkan penyebab merana itu berasal dari perbuatan orang yang “ Papa Krama” antara lain orang sudra mengawini Brahmana dan Ksatria, Kesatria mengawini Brahmana, manusia kawin dengan binatang (salah timpal) anaknya menjadi salah wetu (tidak sesuai) anaknya menjadi tikus, ari-ari menjadi walang sangit , air ketuban menjadi basah , Lamas menjadi candang, Getih menjadi mati muncuk. Ini kalau tidak diupacarai dengan pengentas penyucian selamanya akan cemer (kotor) Para dewa akan hilang tidak ada di dunia, sakit tidak henti-hentinya menimpa para pemimpin para mentri dan wiku. Oleh karena itu tikus itu patut diupacarai, seperti mengupacarai orang yang sudah meninggal. Lontar Sri Purana menambahkan, demikian juga lontar Dharma Pemaculan, supaya diupacarai di Bale Agung dan dibakar di tepi,

Sumber : tabanankab.go.id

0 komentar:

Posting Komentar