Rumah
Honai yang merupakan rumah adat di Papua ini terbuat dari kayu. Yang membuat
unik adalah atapnya yang berbentuk setengah bola atau kubah dan terbuat dari
jerami atau ilalang. Rumah Honai begitu kecil, sempit, dan tidak berjendela.
Sengaja dibangun demikian untuk menahan hawa dingin dari pegunungan sekitar
Papua. Jika dilihat, rumah adat ini sepintas mirip dengan Rumah Iglo di Kutub
Utara, namun bukan terbuat dari es.
“Honai memang
memiliki nilai filosofis yang mendalam. Sebab pada rumah tradisional inilah
tempat generasi awal masyarakat pegunungan tengah Papua dilahirkan dan
dibesarkan. Honai juga menjadi tempat belajar mengenai arti kehidupan dan
hubungan timbal balik antara manusia dengan alam sekitar maupun dengan sang
pencipta. Jadi tentu tidak ada kata lain lagi, keunikan honai patut dijaga agar
tidak cepat tergerus perkembangan zaman”, begitulah kira-kira Julian Howay,
seorang peneliti Papua bertutur.
Honai berbentuk bulat. Atap hanoi berbentuk kerucut atau kubah (dome). Material yang digunakan untuk membangun atap, yaitu menggunakan alang-alang atau jerami. Ukuran honai biasanya 5 meter sampai 7 meter. Honai yang dihuni oleh kaum wanita biasanya lebih pendek. Rotan, tali hutan (akar), alang-alang, belahan kayu atau papan, dan kayu untuk tiang.
Honai berbentuk bulat. Atap hanoi berbentuk kerucut atau kubah (dome). Material yang digunakan untuk membangun atap, yaitu menggunakan alang-alang atau jerami. Ukuran honai biasanya 5 meter sampai 7 meter. Honai yang dihuni oleh kaum wanita biasanya lebih pendek. Rotan, tali hutan (akar), alang-alang, belahan kayu atau papan, dan kayu untuk tiang.
Honai adalah
rumah khas Papua yang dihuni oleh Suku Dani. Rumah Honai terbuat dari kayu
dengan atap berbentuk kerucut yang terbuat dari jerami atau ilalang. Honai
mempunyai pintu yang kecil dan tidak memiliki jendela. Sebenarnya, struktur
Honai dibangun sempit atau kecil dan tidak berjendela bertujuan untuk menahan
hawa dingin pegunungan Papua.
Honai
terdiri dari 2 lantai yaitu lantai pertama sebagai tempat tidur dan lantai
kedua untuk tempat bersantai, makan, dan mengerjakan kerajinan
tangan. Karena dibangun 2 lantai, Honai memiliki tinggi kurang lebih 2,5
meter. Pada bagian tengah rumah disiapkan tempat untuk membuat api unggun
untuk menghangatkan diri. Rumah Honai terbagi dalam tiga tipe, yaitu untuk
kaum laki-laki (disebut Honai), wanita (disebut Ebei), dan kandang
babi (disebut Wamai).
Rumah
Honai biasa ditinggali oleh 5 hingga 10 orang.Lantai dasar dan lantai satu
dihubungkan dengan tangga dari bambu. Para pria tidur pada lantai dasar secara
melingkar, sementara para wanita tidur di lantai satu
Oleh suku Dani dan
beberapa suku yang mendiami wilayah pegunungan tengah Papua, Honai dikenal
sudah sejak lama di Kabupaten Jayawijaya. Artinya, honai memang didesain khusus
sebagai rumah yang melindungi dari hawa dingin. Sampai saat ini, honai secara
turun-temurun masih dibangun sesuai dengan tradisi dan kondisi setempat. Secara
morfologis, honai dibenuk dari dua kata. Pertama yaitu “Hun” yang berarti pria
dewasa dan “Ai” yang berarti rumah. Secara harfiah, honai berarti rumah laki-laki
dewasa. Bukan saja miliki laki-laki dewasa, kaum perempuan juga mempunyai honai
hanya saja dalam pengistilahannya berbeda. Untuk kaum wanita, hanoi disebut
“Ebeai”. Seperti halnya honai, Ebeai terdiri dari dua kata, yakni “Ebe” atau
tubuh dalam pengertian kehadiran tubuh dan “Ai” yang berarti rumah.
Dalam merumuskan
perang dan pesta adat, masyarakat papua biasa melakukannya di honai laki-laki
dewasa, tepatnya di ruang bawah. Diskusi, berdemokrasi,berdialog dan berdebat
mengenai kehidupan ekonomi, keamanan daerah, membagi pengalaman dan memikirkan
tentang kesinambungan hidup biasanya juga didialogkan. Honai bagain bawah
digunakan pula untuk tempat penyimpan harta. Bagi suku Dani, bagian
bawah honai kerap digunakan untuk menyimpan mumi. Adapun kamar tidur terdapat
di bagian atas honai dan ebeai.
Menariknya, honai
dan ebeai juga merupakan tempat pendidikan khusus. Honai laki-laki
dewasa khusus untuk laki-laki dewasa dan yang beranjak dewasa. Di sana mereka
(laki-laki yang beranjak dewasa diajarkan mengenai banyak hal untuk
mempersiapkan hidupnya ketika menginjak usia dewasa. Honai laki-laki dewasa
tidak boleh ditinggali oleh perempuan.
Bagi ebeai atau honai
bagi kaum perempuan, honai berfungsi untuk melakukan proses pendidikan bagi
kaum perempuan yang beranjak dewasa. Di sana tinggal anak-anak perempuan dan
anak-anak laki-laki, serta para kaum ibu. Di dalam honai atau ebeai tersebut
para ibu mengajarkan hal-hal yang akan dihadapi anak-anak perempuan setelah
tiba saatnya untuk menikah atau kawin. Bagi anak laki-laki, tinggalnya mereka
di honai wanita hanya bersifat sementara. Ketika mereka beranjak dewasa mereka
akan pindah ke honai laki-laki dewasa.
Honai tidak dibangun
dengan sembarangan, baik sembarang tempat maupun sembarang waktu. Biasanya
faktor alam menjadi pertimbangan penting untuk membangun honai. Aspek keamanan,
resiko bencana, dan hal-hal yang akan dihadapi menjadi pertimbangan dalam
pembangunan honai. Hal tersebut juga dituturkan oleh pendeta dan tokoh
intelektual papua asal pegunungan tengah Papua, Pdt. Socratez Sofyan Yoman,
dalam bukunya yang berjudul Kita Meminum Air Dari Sumur Kita Sendiri. Posisi
pintu sengaja dibuat diposisi arah terbitnya matahari dan terbenamnya matahari.
“Honai memang
memiliki nilai filosofis yang mendalam. Sebab pada rumah tradisional inilah
tempat generasi awal masyarakat pegunungan tengah Papua dilahirkan dan
dibesarkan. Honai juga menjadi tempat belajar mengenai arti kehidupan dan
hubungan timbal balik antara manusia dengan alam sekitar maupun dengan sang
pencipta. Jadi tentu tidak ada kata lain lagi, keunikan honai patut dijaga agar
tidak cepat tergerus perkembangan zaman”, begitulah kira-kira Julian Howay,
seorang peneliti Papua bertutur. (Adat, Budaya, Cirikhas, Rumah adat, Tradisi)
***)berbagai sumber
0 komentar:
Posting Komentar