Jumat, 27 Maret 2015

RUMAH ADAT HANOI SUKU DANI PAPUA


Rumah Honai yang merupakan rumah adat di Papua ini terbuat dari kayu. Yang membuat unik adalah atapnya yang berbentuk setengah bola atau kubah dan terbuat dari jerami atau ilalang. Rumah Honai begitu kecil, sempit, dan tidak berjendela. Sengaja dibangun demikian untuk menahan hawa dingin dari pegunungan sekitar Papua. Jika dilihat, rumah adat ini sepintas mirip dengan Rumah Iglo di Kutub Utara, namun bukan terbuat dari es.
Honai memang memiliki nilai filosofis yang mendalam. Sebab pada rumah tradisional inilah tempat generasi awal masyarakat pegunungan tengah Papua dilahirkan dan dibesarkan. Honai juga menjadi tempat belajar mengenai arti kehidupan dan hubungan timbal balik antara manusia dengan alam sekitar maupun dengan sang pencipta. Jadi tentu tidak ada kata lain lagi, keunikan honai patut dijaga agar tidak cepat tergerus perkembangan zaman”, begitulah kira-kira Julian Howay, seorang peneliti Papua bertutur.
Honai berbentuk bulat. Atap hanoi berbentuk kerucut atau kubah (dome). Material yang digunakan untuk membangun atap, yaitu menggunakan alang-alang atau jerami. Ukuran honai biasanya 5 meter sampai 7 meter. Honai yang dihuni oleh kaum wanita biasanya lebih pendek.  Rotan, tali hutan (akar), alang-alang, belahan kayu atau papan, dan kayu untuk tiang.
Honai adalah rumah khas Papua yang dihuni oleh Suku Dani. Rumah Honai terbuat dari kayu dengan atap berbentuk kerucut yang terbuat dari jerami atau ilalang. Honai mempunyai pintu yang kecil dan tidak memiliki jendela. Sebenarnya, struktur Honai dibangun sempit atau kecil dan tidak berjendela bertujuan untuk menahan hawa dingin pegunungan Papua.
Honai terdiri dari 2 lantai yaitu lantai pertama sebagai tempat tidur dan lantai kedua untuk tempat bersantai, makan, dan mengerjakan kerajinan tangan. Karena dibangun 2 lantai, Honai memiliki tinggi kurang lebih 2,5 meter. Pada bagian tengah rumah disiapkan tempat untuk membuat api unggun untuk menghangatkan diri. Rumah Honai terbagi dalam tiga tipe, yaitu untuk kaum laki-laki (disebut Honai), wanita (disebut Ebei), dan kandang babi (disebut Wamai).
Rumah Honai biasa ditinggali oleh 5 hingga 10 orang.Lantai dasar dan lantai satu dihubungkan dengan tangga dari bambu. Para pria tidur pada lantai dasar secara melingkar, sementara para wanita tidur di lantai satu
Oleh suku Dani dan beberapa suku yang mendiami wilayah pegunungan tengah Papua, Honai dikenal sudah sejak lama di Kabupaten Jayawijaya. Artinya, honai memang didesain khusus sebagai rumah yang melindungi dari hawa dingin. Sampai saat ini, honai secara turun-temurun masih dibangun sesuai dengan tradisi dan kondisi setempat. Secara morfologis, honai dibenuk dari dua kata. Pertama yaitu “Hun” yang berarti pria dewasa dan “Ai” yang berarti rumah. Secara harfiah, honai berarti rumah laki-laki dewasa. Bukan saja miliki laki-laki dewasa, kaum perempuan juga mempunyai honai hanya saja dalam pengistilahannya berbeda. Untuk kaum wanita, hanoi disebut “Ebeai”. Seperti halnya honai, Ebeai terdiri dari dua kata, yakni “Ebe” atau tubuh dalam pengertian kehadiran tubuh dan “Ai” yang berarti rumah.
Dalam merumuskan perang dan pesta adat, masyarakat papua biasa melakukannya di honai laki-laki dewasa, tepatnya di ruang bawah. Diskusi, berdemokrasi,berdialog dan berdebat mengenai kehidupan ekonomi, keamanan daerah, membagi pengalaman dan memikirkan tentang kesinambungan hidup biasanya juga didialogkan. Honai bagain bawah digunakan pula untuk tempat penyimpan harta. Bagi suku Dani, bagian bawah honai kerap digunakan untuk menyimpan mumi. Adapun kamar tidur terdapat di bagian atas honai dan ebeai.
Menariknya, honai dan ebeai juga merupakan tempat pendidikan khusus. Honai laki-laki dewasa khusus untuk laki-laki dewasa dan yang beranjak dewasa. Di sana mereka (laki-laki yang beranjak dewasa diajarkan mengenai banyak hal untuk mempersiapkan hidupnya ketika menginjak usia dewasa. Honai laki-laki dewasa tidak boleh ditinggali oleh perempuan.
Bagi ebeai atau honai bagi kaum perempuan, honai berfungsi untuk melakukan proses pendidikan bagi kaum perempuan yang beranjak dewasa. Di sana tinggal anak-anak perempuan dan anak-anak laki-laki, serta para kaum ibu. Di dalam honai atau ebeai tersebut para ibu mengajarkan hal-hal yang akan dihadapi anak-anak perempuan setelah tiba saatnya untuk menikah atau kawin. Bagi anak laki-laki, tinggalnya mereka di honai wanita hanya bersifat sementara. Ketika mereka beranjak dewasa mereka akan pindah ke honai laki-laki dewasa.
Honai tidak dibangun dengan sembarangan, baik sembarang tempat maupun sembarang waktu. Biasanya faktor alam menjadi pertimbangan penting untuk membangun honai. Aspek keamanan, resiko bencana, dan hal-hal yang akan dihadapi menjadi pertimbangan dalam pembangunan honai. Hal tersebut juga dituturkan oleh pendeta dan tokoh intelektual papua asal pegunungan tengah Papua, Pdt. Socratez Sofyan Yoman, dalam bukunya yang berjudul Kita Meminum Air Dari Sumur Kita Sendiri. Posisi pintu sengaja dibuat diposisi arah terbitnya matahari dan terbenamnya matahari.
Honai memang memiliki nilai filosofis yang mendalam. Sebab pada rumah tradisional inilah tempat generasi awal masyarakat pegunungan tengah Papua dilahirkan dan dibesarkan. Honai juga menjadi tempat belajar mengenai arti kehidupan dan hubungan timbal balik antara manusia dengan alam sekitar maupun dengan sang pencipta. Jadi tentu tidak ada kata lain lagi, keunikan honai patut dijaga agar tidak cepat tergerus perkembangan zaman”, begitulah kira-kira Julian Howay, seorang peneliti Papua bertutur.    (Adat, Budaya, Cirikhas, Rumah adat, Tradisi)



***)berbagai sumber

0 komentar:

Posting Komentar