Selasa, 07 Juli 2015

TRADISI & BUDAYA TUMBILOTOHE GORONTALO

Tumbilotohe berasal dari dua kata, yakni tumbilo yang berarti pasang dan tohe yang berarti lampu. Dengan demikian,tumbilotohe merupakan malam pemasangan lampu dalam rangka menyambut Idul Fitri. Lampu-lampu tersebut mulai dipasang tiga hari sebelum lebaran. Biasanya lampu yang dipasang berupa lampu dari botol atau kaleng bekas yang bersumbu berbahan bakar minyak tanah atau jenis lainnya yang dipasang dengan berbagai bentuk.
Tradisi tumbilotohe ada sejak beberapa abad lalu. Pada saat itu, dimana listrik masih langka, di penghujung bulan Ramadhan masyarakat Gorontalo memasang lampu di halaman rumah dan sepanjang jalan menuju tempat ibadah secara sukarela. Hal ini ditujukan untuk mempermudah warga yang akan pergi ke tempat ibadah dan juga mempermudah warga yang akan membagikan zakat fitrah di malam hari. Lampu yang digunakan masih terbuat dari damar dan getah pohon agar menyala dalam waktu yang lama. Seiring berjalannya waktu, tradisi Tumbilotohe tetap bertahan hingga saat ini.
Saat ini tumbilotohe berkembang di berbagai tempat dengan bentuk yang beragam. Tidak hanya rumah warga, tetapi kantor-kantor pemerintahan, lapangan terbuka, jalanan, dan petak-petak sawah juga turut dimeriahkan oleh cahaya lampu. Lampu-lampu tersebut ada yang berbentuk masjid, kaligrafi, dan bentuk menarik lainnya. Lampu yang dipasang tidak hanya lampu minyak tanah, tetapi juga lampu kelap-kelip berbagai warna.
Tradisi Tumbilotohe tidak hanya memeriahkan Gorontalo, tetapi juga menarik minat masyarakat di daerah sekitarnya untuk melihat meriahnya tradisi tumbilotohe. Bahkan, pada tahun 2007 tradisi tumbilotohe mendapatkan rekor muri karena lima juta lampu turut menyemarakkan malam tumbilotohe. Selain lampu, beberapa masyarakat juga memasang janur,pohon pisang, dan tebu di gerbang-gerbang bangunan atau di perbatasan desa.
Tumbilotohe berasal dari dua kata, yakni tumbilo yang berarti pasang dan tohe yang berarti lampu. Dengan demikian,tumbilotohe merupakan malam pemasangan lampu dalam rangka menyambut Idul Fitri. Lampu-lampu tersebut mulai dipasang tiga hari sebelum lebaran. Biasanya lampu yang dipasang berupa lampu dari botol atau kaleng bekas yang bersumbu berbahan bakar minyak tanah atau jenis lainnya yang dipasang dengan berbagai bentuk.
Tradisi tumbilotohe ada sejak beberapa abad lalu. Pada saat itu, dimana listrik masih langka, di penghujung bulan Ramadhan masyarakat Gorontalo memasang lampu di halaman rumah dan sepanjang jalan menuju tempat ibadah secara sukarela. Hal ini ditujukan untuk mempermudah warga yang akan pergi ke tempat ibadah dan juga mempermudah warga yang akan membagikan zakat fitrah di malam hari. Lampu yang digunakan masih terbuat dari damar dan getah pohon agar menyala dalam waktu yang lama. Seiring berjalannya waktu, tradisi Tumbilotohe tetap bertahan hingga saat ini.
Saat ini tumbilotohe berkembang di berbagai tempat dengan bentuk yang beragam. Tidak hanya rumah warga, tetapi kantor-kantor pemerintahan, lapangan terbuka, jalanan, dan petak-petak sawah juga turut dimeriahkan oleh cahaya lampu. Lampu-lampu tersebut ada yang berbentuk masjid, kaligrafi, dan bentuk menarik lainnya. Lampu yang dipasang tidak hanya lampu minyak tanah, tetapi juga lampu kelap-kelip berbagai warna.
Tradisi Tumbilotohe tidak hanya memeriahkan Gorontalo, tetapi juga menarik minat masyarakat di daerah sekitarnya untuk melihat meriahnya tradisi tumbilotohe. Bahkan, pada tahun 2007 tradisi tumbilotohe mendapatkan rekor muri karena lima juta lampu turut menyemarakkan malam tumbilotohe. Selain lampu, beberapa masyarakat juga memasang janur,pohon pisang, dan tebu di gerbang-gerbang bangunan atau di perbatasan desa.

(Adat, Budaya, Ciri Khas, upacara adat,  Tradisi, )

0 komentar:

Posting Komentar