Tumbilotohe berasal dari dua kata, yakni tumbilo yang
berarti pasang dan tohe yang berarti lampu. Dengan demikian,tumbilotohe merupakan
malam pemasangan lampu dalam rangka menyambut Idul Fitri. Lampu-lampu tersebut
mulai dipasang tiga hari sebelum lebaran. Biasanya lampu yang dipasang berupa
lampu dari botol atau kaleng bekas yang bersumbu berbahan bakar minyak tanah
atau jenis lainnya yang dipasang dengan berbagai bentuk.
Tradisi tumbilotohe ada sejak beberapa
abad lalu. Pada saat itu, dimana listrik masih langka, di penghujung bulan
Ramadhan masyarakat Gorontalo memasang lampu di halaman rumah dan sepanjang
jalan menuju tempat ibadah secara sukarela. Hal ini ditujukan untuk mempermudah
warga yang akan pergi ke tempat ibadah dan juga mempermudah warga yang akan
membagikan zakat fitrah di malam hari. Lampu yang digunakan masih terbuat dari
damar dan getah pohon agar menyala dalam waktu yang lama. Seiring berjalannya
waktu, tradisi Tumbilotohe tetap bertahan hingga saat ini.
Saat ini tumbilotohe berkembang di
berbagai tempat dengan bentuk yang beragam. Tidak hanya rumah warga, tetapi
kantor-kantor pemerintahan, lapangan terbuka, jalanan, dan petak-petak sawah
juga turut dimeriahkan oleh cahaya lampu. Lampu-lampu tersebut ada yang
berbentuk masjid, kaligrafi, dan bentuk menarik lainnya. Lampu yang dipasang
tidak hanya lampu minyak tanah, tetapi juga lampu kelap-kelip berbagai warna.
Tradisi Tumbilotohe tidak hanya
memeriahkan Gorontalo, tetapi juga menarik minat masyarakat di daerah
sekitarnya untuk melihat meriahnya tradisi tumbilotohe. Bahkan,
pada tahun 2007 tradisi tumbilotohe mendapatkan rekor muri
karena lima juta lampu turut menyemarakkan malam tumbilotohe.
Selain lampu, beberapa masyarakat juga memasang janur,pohon pisang, dan tebu di
gerbang-gerbang bangunan atau di perbatasan desa.
Tumbilotohe berasal dari dua kata, yakni tumbilo yang
berarti pasang dan tohe yang berarti lampu. Dengan demikian,tumbilotohe merupakan
malam pemasangan lampu dalam rangka menyambut Idul Fitri. Lampu-lampu tersebut
mulai dipasang tiga hari sebelum lebaran. Biasanya lampu yang dipasang berupa
lampu dari botol atau kaleng bekas yang bersumbu berbahan bakar minyak tanah
atau jenis lainnya yang dipasang dengan berbagai bentuk.
Tradisi tumbilotohe ada sejak beberapa
abad lalu. Pada saat itu, dimana listrik masih langka, di penghujung bulan
Ramadhan masyarakat Gorontalo memasang lampu di halaman rumah dan sepanjang
jalan menuju tempat ibadah secara sukarela. Hal ini ditujukan untuk mempermudah
warga yang akan pergi ke tempat ibadah dan juga mempermudah warga yang akan
membagikan zakat fitrah di malam hari. Lampu yang digunakan masih terbuat dari
damar dan getah pohon agar menyala dalam waktu yang lama. Seiring berjalannya
waktu, tradisi Tumbilotohe tetap bertahan hingga saat ini.
Saat ini tumbilotohe berkembang di
berbagai tempat dengan bentuk yang beragam. Tidak hanya rumah warga, tetapi
kantor-kantor pemerintahan, lapangan terbuka, jalanan, dan petak-petak sawah
juga turut dimeriahkan oleh cahaya lampu. Lampu-lampu tersebut ada yang
berbentuk masjid, kaligrafi, dan bentuk menarik lainnya. Lampu yang dipasang
tidak hanya lampu minyak tanah, tetapi juga lampu kelap-kelip berbagai warna.
Tradisi Tumbilotohe tidak hanya
memeriahkan Gorontalo, tetapi juga menarik minat masyarakat di daerah
sekitarnya untuk melihat meriahnya tradisi tumbilotohe. Bahkan,
pada tahun 2007 tradisi tumbilotohe mendapatkan rekor muri
karena lima juta lampu turut menyemarakkan malam tumbilotohe.
Selain lampu, beberapa masyarakat juga memasang janur,pohon pisang, dan tebu di
gerbang-gerbang bangunan atau di perbatasan desa.
(Adat, Budaya, Ciri Khas, upacara adat, Tradisi, )
0 komentar:
Posting Komentar