Di kalangan orang
Daik-Lingga ada sebuah upacara yang disebut sebagai “basuh lantai”. Secara
etimologis nama upacara ini terdiri atas dua kata, yaitu basuh yang berarti
“mencuci atau membersihkan” dan lantai yang berarti “alas rumah atau lantai”.
Jadi, secara keseluruhan basuh lantai berarti “membersihkan lantai”. Bisa jadi,
ini ada kaitannya dengan keadaan yang sesungguhnya, yaitu membersihkan lantai
dari percikan darah pada saat seseorang melahirkan, karena upacara ini sangat
erat kaitannya dengan daur hidup (lingkaran hidup individu), khususnya yang
berkenaan dengan kelahiran. Lepas dari itu, yang jelas orang Daik-Lingga
mempercayai bahwa lantai ada penghuninya. Untuk itu, jika terkena darah,
khususnya darah perempuan yang sedang melahirkan, lantai tersebut harus
“dibersihkan” dengan cara disiram dengan air, diminyaki, dibedaki, dan
disisiri. Pendek kata, diperlakukan bagaikan manusia. Jika tidak, makhluk halus
yang menempati lantai akan mengganggu, tidak hanya orang yang membantu
kelahiran (Mak Dukun atau Mak Bidan), melainkan juga ibu dan atau bayinya.
Misalnya, bayi akan menangis secara terus-menerus atau sakit-sakitan. Agar ibu
dan anak yang dilahirkan serta dukun selamat, maka perlu diadakan suatu
upacara. Dan, upacara itu, sebagaimana telah disebutkan di atas, bernama “basuh
lantai”. Tujuannya bukan semata-mata agar terhindar dari gangguan makhluk halus
yang menempati lantai, tetapi juga sekaligus sebagai ungkapan terima kasih
kepada Yang Maha Kuasa karena proses kelahiran dapat berjalan lancar.
Upacara ini dilaksanakan
ketika bayi ttelah berumur 44 hari. Sebelum umur itu seorang ibu dan bayinya
tidak diperbolehkan keluar rumah. Sebelum umur itu pula, Sang bayi tidak
diperboleh turun ke tanah. Namun, jika satu dan lain hal, seorang ibu harus ke
luar rumah, maka ia harus membawa kacip (alat yang dipergunakan untuk membelah
sirih-pinang) atau pisau atau paku yang ujungnya disusuki bawang. Sementara
itu, di sisi Sang jabang bayi yang ditinggal ibunya, juga harus ada peralatan
yang berupa pisau, paku, atau sepotong besi yang berwujud apa saja. Tujuannya
adalah agar berbagai makhluk halus tidak mengganggunya.
Hari yang dipilih untuk
melaksanakan upacara ini adalah Jumat, karena menurut kepercayaan masyarakat
setempat, hari tersebut adalah hari yang dirahmati Tuhan. Adapun waktunya,
biasanya pada pagi hari karena siangnya (setelah sholat Jumat) dilanjutkan
dengan acara kenduri. Uparacanya sendiri dilakukan di lantai sebuah kamar yang
ketika itu digunakan sebagai tempat untuk melahirkan. Upacara yang biasanya
dihadiri oleh kerabat dan tetangga ini, dipimpin oleh Mak Dukun/Bidan (yang
dahulu membantu kelahiran) dan Pak Jantan (suami Mak Dukun). Sedangkan acara
kenduri dilaksanakan di ruang tamu dan dipimpin oleh ulama setempat.
Sebagai catatan, sebenarnya
hubungan antara ibu yang sedang hamil dan Mak Dukun terjadi tidak hanya pada
kelahiran dan upacara basuh lantai saja, tetapi juga ketika kandungan telah
berumur 7 bulan. Ketika itu Sang suami datang ke rumah Mak Dukun dengan membawa
telur dan pulut. Tujuannya adalah agar Sang dukun bersedia membantu isterinya
dalam proses kelahiran. Pemberitahuan dan sekaligus permohonan ini oleh
masyarakat setempat disebut sebagai “menepah”, dengan telur dan pulut sebagai
syaratnya. Sejak itu, suami dan isterinya yang sedang mengandung itu setiap
hari Jumat datang ke rumah Mak Dukun. Mereka membawa sebotol air dan tiga buah
limau untuk dimanterai. Air dan buah yang telah dimanterai itu kemudian
digunakan untuk mandi selama tiga hari berturut-turut.
(Adat, Budaya, Ciri Khas, upacara adaT, Tradisi,)
(Adat, Budaya, Ciri Khas, upacara adaT, Tradisi,)
***)berbagai sumber)
0 komentar:
Posting Komentar