Budaya & Tradisi. Satu
ciri menarik dari tari Aceh adalah bahwa ia dilakukan secara berkelompok.
Seudati yang heroik dilakukan oleh delapan orang. Saman, sebagian menyebutnya
“tari tangan seribu” alias “a thousand hand dance” yang rampak dan dinamis
biasanya dilakukan oleh sepuluh orang laki-laki atau sepuluh orang perempuan.
Likok Pulok juga demikian, walaupun bisa juga ditarikan delapan atau dua belas
orang. Tari Ranub Lampuan yang indah untuk memuliakan tamu biasanya dilakukan
oleh enam atau delapan dara Aceh. Tak ada tari
Aceh yang dilakukan sendiri alias secara solo.
Apakah
karena orang Aceh tidak berani menari sendiri? Rasanya bukan. Karena konon
orang Aceh punya keberanian individu yang hebat. Tak kurang Sang Pramoedya
mengakuinya. ”Orang Madura beraninya carok, orang Jawa kalau berantam suka
tawuran, tapi orang Aceh punya keberanian individual yang luar biasa” begitu
kira-kira kata Pram dalam salah satu wawancara menjelang akhir hayatnya.
Saat Perang Aceh, ketika perlawanan pasukan Aceh mulai lemah, pasukan kolonial Belanda sering diamuk pejuang Aceh secara individu sehingga dikenal "Atjehnese murder" (Atjeh-moord). Fenomena yang sama pernah muncul dimasa DOM dan aneka operasi militer serdadu Indonesia di Aceh 1980-an ke atas. Ciri khas lainnya aneka tarian Aceh adalah adanya syekh (pemimpin) dan kadang-kadang juga aneuk syech, semacam wakil atau asisten dari syech. Ini bisa jadi ada hubungannya dengan kosep imam dan amir dalam Islam yang mempunyai wajah unik tersendiri di Aceh. Bahwa setiap kelompok lebih dari satu orang, harus memilih satu orang pemimpin. Jika dua orang melakukan perjalanan, maka salah satunya dipilih jadi amir perjalanan.
Saat Perang Aceh, ketika perlawanan pasukan Aceh mulai lemah, pasukan kolonial Belanda sering diamuk pejuang Aceh secara individu sehingga dikenal "Atjehnese murder" (Atjeh-moord). Fenomena yang sama pernah muncul dimasa DOM dan aneka operasi militer serdadu Indonesia di Aceh 1980-an ke atas. Ciri khas lainnya aneka tarian Aceh adalah adanya syekh (pemimpin) dan kadang-kadang juga aneuk syech, semacam wakil atau asisten dari syech. Ini bisa jadi ada hubungannya dengan kosep imam dan amir dalam Islam yang mempunyai wajah unik tersendiri di Aceh. Bahwa setiap kelompok lebih dari satu orang, harus memilih satu orang pemimpin. Jika dua orang melakukan perjalanan, maka salah satunya dipilih jadi amir perjalanan.
Konsep
pemimpin dalam Islam juga mewujud dengan jelas dalam shalat berjamaah yang
sangat demokratis dan egaliter, yang konon menjadi sumber inspirasi pencipta Likok
Pulok. Siapa saja boleh menghadap Tuhan-nya di barisan terdepan di belakang
imam atau bahkan menjadi imamnya. Siapa pun bisa jadi imam asal memenuhi syarat
yang dapat dipenuhi siapa saja yang mau belajar dan mengamalkannya. Makmum,
pengikut imam, harus ikut gerakan imam. Tapi makmum bisa mengingatkan jika imam
lupa. Bila imam, maaf, kentut, siapapun di belakang imam boleh menggantikannya
dan imam dengan kesadaran snediri harus mundur. Imam perlu jamaah. Sebaliknya,
jamaah tidak jalan tanpa imam. Karena itu, tarian Aceh adalah tarian berjemaah!
Dalam beberapa gerakannya, seperti dalam tari Seudati dan Ranub Lampuan, ”konsep ruang berupa titik-sentral-di-tengah-lingkaran” seringkali muncul. Margaret Kartomi, profesor seni tradisional Nusantara dari Australia menuliskan,
Dalam beberapa gerakannya, seperti dalam tari Seudati dan Ranub Lampuan, ”konsep ruang berupa titik-sentral-di-tengah-lingkaran” seringkali muncul. Margaret Kartomi, profesor seni tradisional Nusantara dari Australia menuliskan,
“…the central point-in-a-circle concept of
space is believed to have its parallels in Perso-Arabic thinking and points to
Aceh's links with Persian, Moghul, Turkish, and Arabic cultures over the past
millennium. It governs mosque-centred town planning, some visual art designs
and some formations of dancers and musicians who circle around their leader at
the centre point.” (Kartomi 2004)
Tak salah rasanya jika kita katakan bahwa tari Aceh adalah salah satu wujud peradaban Aceh. Bagaimana Aceh memandang dirinya di tengah peradaban Persia, Moghul, Turki, dan Arab terlihat dalam konsep ruang tari Aceh. Mewujud juga dalam perencanaan gampong dan kota dimana mesjid adalah titik pusatnya, baik secara fisik maupun mental.
Tak salah rasanya jika kita katakan bahwa tari Aceh adalah salah satu wujud peradaban Aceh. Bagaimana Aceh memandang dirinya di tengah peradaban Persia, Moghul, Turki, dan Arab terlihat dalam konsep ruang tari Aceh. Mewujud juga dalam perencanaan gampong dan kota dimana mesjid adalah titik pusatnya, baik secara fisik maupun mental.
Syeikh,
amir, atau imam menentukan gerakan dinamis dan serempak tarian jamaahnya. Maju
bersama, mundur, duduk, bersila seperti dalam Saman; berjingkrak, bahkan
berlari dengan bersemangat seperti dalam Seudati. Lemah gemulai dan lembut
seperti dalam Ranub Lampuan. Dibantu aneuk syeikh, seorang syeikh menentukan
irama, emosi, dan gerak para penarinya.
Kerjasama dan saling percaya antara syeikh dengan para penarinya adalah keniscayaan. Tak ada tari Aceh tanpa kerjasama dan saling percaya. Tari kehilangan keindahan dan pesonanya. Coba bayangkan tangan, tubuh, kepala yang saling berbenturan di tengah kegesitan gerakan serempak Tari Saman! Taripan buyar. Taripan kehilangan eksistensinya !
Kerjasama dan saling percaya antara syeikh dengan para penarinya adalah keniscayaan. Tak ada tari Aceh tanpa kerjasama dan saling percaya. Tari kehilangan keindahan dan pesonanya. Coba bayangkan tangan, tubuh, kepala yang saling berbenturan di tengah kegesitan gerakan serempak Tari Saman! Taripan buyar. Taripan kehilangan eksistensinya !
Budaya
& Tradisi tari. Seperti tarian Aceh, orang Aceh bisa maju dan mempesona
jika dia berjamaah. Kelemahannya, setiap jamaah sangat rentan terhadap ”bisikan
syeitan”. Jika satu penari khianat karena kepentingan pribadi atau kena rayuan
dari luar tarian—dan ini sangat mudah dalam dunia yang makin hedonistik ini,
maka rusaklah seluruh tarian. Penari bisa terpengaruh atau dibeli. Kalau satu
terbeli, shaf jamaah bolong. Kalau shaf
jarang setan bisa lewat. !
Seperti
tarian Aceh, orang Aceh bisa maju dan bahagia jika syeikh-nya adalah imam yang
berilmu, tegas, tapi juga demokratis dan terbuka. Banyak orang Aceh masih
menderita sampai sekarang karena Aceh sudah lama kehilagan pemimpin yang bisa
memimpin gerak maju rakyatnya. Seperti budaya
& tradisi Tari Saman atau Likok Pulok tanpa syeikh. Selama ini, pemimpin
Aceh juga banyak yang pelupa. Adalah kewajiban rakyat yang tahu untuk
mengingatkannya, seperti kewajiban makmum mengingatkan imam yang lupa dalam
shalat jamaahnya. Supaya jamaah tidak perlu bubar; supaya tarian tetap rampak
mempersona.
***)
Sumber : Cangklak.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar