Sabtu, 06 Desember 2014

BUDAYA TRADISI BAKAR BATU DI PAPUA

 BUDAYA TRADISI BAKAR BATU DI PAPUA

Papua, pulau paling timur Nusantara ini memiliki potensi pulau yang indah dan keunikan tradisinya. Papua menyimpan berbagai warisan kebudayaan yang harus dilestarikan agar tidak punah adat istiadat yang telah diciptakan oleh leluhur kita.
Salah satu keunikan kebudayaan Papua adalah dengan adanya upacara tradisional yang dinamakan dengan Bakar Batu. Budaya & tradisi ini merupakan salah satu tradisi terpenting di Papua yang berfungsi sebagai tanda rasa syukur, menyambut kebahagiaan atas kelahiran, kematian, atau untuk mengumpulkan prajurit untuk berperang.
Pesta Bakar Batu  merupakan tradisi khas orang Papua, yang dilakukan sebagai bentuk ucapan syukur atas berkat yang melimpah, pernikahan, penyambutan tamu agung, dan juga sebagai upacara kematian. Selain itu, upacara ini juga dilakukan sebagai bukti perdamaian setelah terjadi perang antar-suku. Sesuai dengan namanya, dalam memasak dan mengolah makanan untuk pesta tersebut, suku-suku di Papua menggunakan metode bakar batu. Tiap daerah dan suku di kawasan Lembah Baliem memiliki istilah sendiri-sendiri untuk nama pesta ini. Masyarakat Paniai menyebutnya dengan gapii atau ‘mogo gapii‘, masyarakat Wamena menyebutnya kit oba isago, sedangkan masyarakat Biak menyebutnya dengan barapen. Namun tampaknya barapen menjadi istilah yang paling umum digunakan.
Persiapan awal tradisi ini masing-masing kelompok menyerahkan babi sebagai persembahan, sebagian ada yang menari, lalu ada yang menyiapkan batu dan kayu untuk dibakar. Proses membakar batu awalnya dengan cara menumpuk batu sedemikian rupa kemudian mulai dibakar sampai kayu habis terbakar dan batu menjadi panas.
Kemudian setelah itu, babi telah dipersiapkan untuk dipanah terlebih dahulu. Biasanya yang memanah babi adalah para kepala suku dan dilakukan secara bergantian. Ada pandangan yang cukup unik dalam ritual memanah babi ini. Ketika semua kepala suku sudah memanah babi dan babi langsung mati, pertanda acara akan sukses. Sedangkan jika babi tidak langsung mati, diyakini acara ini tidak akan sukses.
Di tempat lain, kaum ibu sibuk menyiapkan tempat pembakaran. Dibuatlah lubang setinggi lutut. Dasar lubang lalu dilapisi rumput-rumputan dan daun pisang. Sementara di tempat terpisah, batu-batu berukuran sedang, dibakar dengan kayu hingga panas. Dengan menggunakan jepit kayu khusus, yang disebut apando, batu-batu panas itu disusun di atas daun-daunan. Diatas batu-batu panas inilah irisan-irisan daging babi dimasak, bersamaan dengan sayur-sayuran dan ubi. Diatasnya diletakkan
Lagi batu-batu panas. Teratas, lapisan daun pisang ditaburi tanah, sebagai penahan agar uap panas dari batu tidak menguap. Proses pemasakan ini berlangsung hingga satu setengah jam. Gundukan batu mulai dibongkar. Daging babi, ubi dan sayuran yang sudah matang itu siap dihidangkan. Tujuh suku, Kamoro-Amungme-dani-Ekari, Mee-Damal-Nduga, dan Moni. Duduk secara berkelompok, mulai dari anak-anak sampai orang tua. Inilah acara makan bersama sebagai puncak acara pesta bakar batu. Semua hidangan disantap habis, tak ada yang tersisa. Makna lain pesta bakar batu, sebagai ungkapan rasa saling mema’afkan diantara mereka. Pesta bakar batu yang pada awalnya hanyalah tradisi keluarga, kini memang telah merakyat, dan dikenal seluruh suku di tanah papua ini.
Budaya & tradisi Pesta Bakar Batu juga merupakan ajang untuk berkumpul bagi warga. Dalam pesta ini akan terlihat betapa tingginya solidaritas dan kebersamaan masyarakat Papua.


***) dari berbagai sumber

0 komentar:

Posting Komentar