Budaya & Tradisi pukul manyapu merupakan perayaan yang ditunggu-tunggu
warga dan wisatawan setiap tahunnya. Anda dapat melihat proses pembuatan pohon
enau menjadi sebuah lidi dan juga pengolahan minyak kelapa untuk pengobatan
selepas tradisi ini. Selain itu, tradisi ini juga diramaikan dengan permainan
rebana, karnaval budaya, dan pertunjukan tari lokal seperti tari putri, tari
mahina, dan tari peran
Pukul Manyapu atau Baku Pukul Manyapu merupakan atraksi unik dari Maluku
Tengah yang biasanya dipentaskan di Desa Mamala dan Desa Morela, Kecamatan
Leihitu, Ambon Berlangsung setiap 8 syawal (penanggalan Islam) dimana telah berlangsung
dari abad XVII yang diciptakan seorang tokoh agama Islam dari Maluku bernama
Imam Tuni. Tradisi ini dipertunjukkan sebagai perayaan keberhasilan pembangunan
masjid yang selesai dibagun pada 8 syawal setelah Idul Fitri.
Budaya & Tradisi ini juga dikaitkan dengan sejarah masyarakat setempat yaitu
perjuangan Kapiten Tulukabessy beserta pasukannya pada masa penjajahan Portugis
dan VOC pada abad ke-16 di tanah Maluku. Pasukan Tulukabessy bertempur untuk
mempertahankan Benteng Kapapaha dari serbuan penjajah meskipun perjuangan
mereka gagal dan Benteng Kapapaha tetap jatuh juga. Untuk menandai kekalahan
tersebut, pasukan Tulukabessy mengambil lidi enau dan saling mencambuk hingga
berdarah.
Tradisi Pukul Manyapu dipandang
sebagai alat untuk mempererat tali persaudaraan masyarakat di Desa Mamala dan
Desa Morela. Dipertunjukan oleh pemuda yang dibagi dalam dua kelompok dimana
setiap kelompoknya berjumlah 20 orang. Kedua kelompok dengan seragam berbeda
itu akan bertarung satu sama lain. Kelompok satu menggunakan celana berwarna
merah sedangkan kelompok lainnya menggunakan celana berwarna hijau. Pesertanya
juga diwajibkan menggunakan ikat kepala untuk menutupi telinga agar terhindar
dari sabetan lidi. Alat pukul dalam tarian ini adalah sapu lidi dari pohon enau
dengan panjang 1,5 meter. Bagian tubuh yang boleh dipukul adalah dari
dada hingga perut.
Ketika atraksi dimulai, kedua
kelompok akan saling berhadapan dengan memegang sapu lidi di kedua tangan.
Ketika suara suling mulai ditiup sebagai aba-aba pertandingan dimulai kemudian
kedua kelompok ini secara bergantian saling pukul menggunakan sapu lidi.
Dimulai dengan kelompok bercelana merah memukul kelompok bercelana hijau atau
sebaliknya. Ketika dimulai maka suara cambukan lidi di badan peserta akan
terdengar dan darah pun keluar akibat sabetan lidi. Suasana ini akan membuat
tubuh Anda bergidik.
Kehebatan dari budaya tradisi pukul
manyapu ini adalah bagaimana pesertanya seakan tidak merasa kesakitan walaupun
tubuh mereka mengelurkan darah akibat dari sabetan lidi. Akan tetapi,
jangan kaitkan itu dengan kekuatan mistis atau gaib, karena para peserta
sebenarnya sudah melebur dalam semangat yang telah membenamkan rasa sakit.
Ketika pertempuran selesai,
pemuda kedua desa tersebut menggobati lukanya dengan menggunakan getah pohon
jarak. Ada juga yang mengoleskan minyak nyualaing matetu (minyak tasala) dimana
mujarab untuk mengobati patah tulang dan luka memar.
0 komentar:
Posting Komentar