Rabu, 11 Maret 2015

MASYARAKAT BALI AGA, PENDUDUK ASLI PULAU BALI


Jauh sebelum terbentuknya masyarakat Bali keturunan Majapahit (Wong Majapahi), mereka tinggal berkelompok-kelompok dengan pemimpinnya masing-masing. Kelompok-kelompok inilah nantinya yang menjadi desa-desa di Bali; mereka adalah orang Bali Aga yang dikenal dengan nama Pasek Bali
Masyarakat Bali secara garis besar memiliki budaya, adat-istiadat, dan tradisi budaya yang diwariskan secara turun temurun dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Sejak Kerajaan Majapahit berhasil menguasai Bali sekitar tahun 1343 M (walau pun pada masa itu masyarakat Bali masih melakukan perlawanan kepada kekuasaan Majapahit di Bali), begitu Negarakretagamamenyebutkan, bahwa Bali merupakan negara bawahan Majapahit. Berikut kutipannya:
Di Hujung Medini, Pahang yang disebut paling dahulu. Berikut Langkasuka, Saimwang, Kelantan serta Trengganu Johor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang serta Kedah Jerai, Kanjapiniran, semua sudah lama terhimpun. Di sebelah timur Jawa seperti yang berikut: Bali dengan negara yang penting Badahulu dan Lo Gajah.
Berdasarkan keterangan Negarakretagama kita bisa mengetahui bahwa Pulau Bali dengan kerajaannya Badahulu pernah menjadi wilayah Kerajaan Majapahit. Akibat dari penguasaan Majapahit atas pulau ini, dapat dirasakan sampai sekarang. Dampak yang nyata terhadap struktur masyarakat Bali oleh Mapahahit saat sekarang adalah terdapatnya dua golongan besar masyarakat Bali, yaitu masyarakat Bali Aga merupakan masyarakat yang diperkirakan suku asli Pulau Bali dan masyarakat yang berasal dari Majapahit (keturunan Masyarakat Majapahit/wong Majapahit) (I Wayan Bawa, 1938: 394).
Masyarakat Bali Aga adalah kelompok masyarakat yang mendiami wilayah pegunungan dan merupakan masyarakat yang sulit ditundukkan pada saat Kerajaan Majapahit menguasai Bali. Kesulitan Majapahit dalam menundukkan Bali karena mendapat perlawanan dari masyarakat Bali Aga yang dapat dirasakan oleh Raja Sri Kresna Kapakisan, yang ditempatkan oleh Gajah Mada untuk memerintah di Bali. Kerajaan yang dipimpin oleh Raja Sri Kresna  Kapakisan sering mendapat serangan dari masyarakat Bali Aga yang berada di sekitar Danau Batur. Sebagai upaya untuk meredam perlawanan tersebut akhirnya Majapahit mengirim Sri Aji Kresna Kapakisan untuk mendampingi Raja Sri Kresna  Kapakisan (patih). Berkat bantuan Sri Aji Kresna  Kapakisan yang berasal dari keturunan Bali, akhirnya perlawanan dari masyarakat Bali Agak dapat diredakan (mungkin karena pengaruh Sri Ari Aji Kapakisan berasal dari Bali).
Jauh sebelum terbentuknya masyarakat Bali keturunan Majapahit (Wong Majapahi), masyarakat Bali diperkirakan berasal dari keturunan “Austronesia”. Mereka tinggal berkelompok-kelompok dengan pemimpinnya masing-masing. Kelompok-kelompok inilah nantinya yang menjadi desa-desa di Bali; mereka adalah orang Bali Aga yang dikenal dengan nama Pasek Bali. Bukti peninggalan masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana ditemukan di Desa Sembiran dan pesisir timur serta tenggara Danau Batur. Peninggalan-peninggalan itu berupa kapak perimbas, kapak genggam, pahat genggam, dan serut (Soejono, 1962: 34-43; Heekeren, 1972: 46). Wilayah sekitar Danau Batur ternyata sudah dihuni jauh sebelum masuknya kekuasaan Majapahit di Bali, dan dijadikan sebagai salah satu pusat perlawanan oleh masyakat Bali Aga kepada kekuasan Majapahit di Bali pada masa pemerintahan Sri Kresna Kapakisan. Danau Batur mungkin dapat disebut sebagai salah satu tempat kebudayaan dan berdiamnya masyarakat Bali Aga.
Sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha, masyarakat Bali masih menganut kepercayaan nenek moyang yang mereka namakan Hyang. Menurut para ahli, kondisi spiritual masyarakat Bali pada saat itu masih “kosong”. Keadaan yang demikan ini berlangsung hingga awal tarikh Masehi, kurang lebih sekitar abad pertama Masehi. Dengan keadaan Bali yang demikian maka mulailah berdatangan orang-orang dari luar Bali ke pulau ini. Di samping untuk mengajarkan agama Hindu, mereka juga ingin “memajukan” Bali dalam segala sektor kehidupan. Untuk hal tersebut datanglah seorang rsi ke Bali bernama Maharsi Markandeya.
Menurut sumber-sumber berupa lontar, sastra, dan purana, Maharsi Markandeya berasal dari India. Seperti dinyatakan sebagai berikut dalam Markandeya Purana, “Sang Yogi Markandeya kawit hana saking Hindu” (sang yogi Markandeya asal mulanya adalah dari India). Berdasarkan data yang ditemukan bahwa nama Markandeya diperkirakan bukan nama perorarangan, melainkan adalah nama perguruan atau nama pasraman seperti halnya juga nama Agastya. Perguruan atau pasraman adalah lembaga yang mempelajari dan mengembangkan ajaran-ajaran dari guru-guru sebelumnya, tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi untuk melanjutkan tradisi dari guru sebelumnya. Jadi sang Maharsi Markandeya adalah seorang rsi dari garis perguruan yang namanya sama dengan nama pendahulunya di India. Ia datang ke Indonesia untuk menyebarkan agama Hindu, terutama paham Waisnawa (pemuja Wisnu).
Setibanya di Nusantara, Maharsi Markandeya mendirikan mendirikan asrama di sekitar Pegunungan Dieng Jawa Tengah. Setelah membuka asrama, akhirnya beliau melanjutkan perjalanan ke timur, tepatnya ke Bali. Maharsi Markandeya kemudian menamakan wilayah tersebut dengan nama Wasuki, kemudian berkembang menjadi nama Basukian dan selanjutnya orang-orang menyebutnya Basuki, yang artinya “keselamatan”. Hingga saat ini, tempat ini dikenal dengan nama Besakih dan tempat beliau menanam panca datu akhirnya didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Besakih. Dan Maharsi Markandeya mengganti nama Gunung Tohlangkir dengan nama Gunung Agung. Tidak hanya itu saja, Maharsi Markandeya akhirnya menamakan pulau ini dengan nama Wali yang berarti “persembahan” atau “korban suci”,  dan dikemudian hari dikenal dengan nama Bali Dwipa atau sekarang dikenal dengan nama Bali, di mana semua orang akan selamat dan sejahtera dengan melaksanakan persembahan yajna atau korban suci.
Orang-orang Aga, murid-murid Maharsi Markandeya menetap di desa-desa yang dilalui oleh beliau. Mereka membaur dengan orang-orang Bali lain, bertani dan bercocok tanam dengan cara yang sangat teratur, menyelenggarakan yajna seperti yang di ajarkan oleh Maharsi Markanadeya. Perjalanan sejarah yang begitu panjang, terutama setelah masuknya kekuasaan Majapahit di Bali yang membawa pengaruh baru, membuat masyarakat Bali Aga “semakin sedikit” bila dibandingkan dengan masyarakat Bali wong Majapahit.
Masyarakat Bali Aga yang sampai saat ini masih taat memegang adat dan istiadat terdapat di beberapa desa dan salah satunya adalah Desa Tenganan. Berdasarkan beberapa penelitian, masyarakat yang tinggal di Desa Tenganan adalah suku asli Bali yang tetap mempertahankan pola hidup tradisional sampai saat ini. Ketaatan masyarakat pada aturan tradisional desa yang diwariskan nenek moyang mereka secara turun temurun menjadi sebuah benteng kokoh dari pengaruh luar.
Menurut beberapa versi catatan sejarah dan penafsirannya, kata tenganan berasal dari kata tengahatau ngatengahan yang memiliki arti “bergerak ke daerah yang lebih dalam”. Kata tersebut berhubungan dengan pergerakan masyarakat desa dari pinggir pantai ke daerah pemukiman di tengah perbukitan, yaitu Bukit Barat (Bukit Kauh) dan Bukit Timur (Bukit Kangin).
Kehidupan sehari-hari masyarakat Tenganan diatur oleh hukum adat yang disebut awig-awig. Hukum adat tersebut diperkirakan ditulis pada abad ke-11 dan diperbaharui tahun 1842. Rumah adat Tenganan dibangun dari campuran batu bata merah, batu kali, dan tanah; atapnya terbuat dari tumpukan daun rumbia. Rumah-rumah tersebut memiliki bentuk dan ukuran relatif sama, dengan ciri khas pintu masuk lebarnya berukuran satu orang dewasa. Ciri khas lain adalah bagian atap pintu menyatu dengan atap rumah.
Desa lainnya yang terkenal sebagai salah satu masyarakat Bali Aga adalah masyarakat Desa Trunyan. Desa Trunyan terletak di pinggir timur Danau Batur, letaknya cukup terpencil karena hanya bisa ditempuh dengan menyeberangi Danau batur. Pada zaman Kerajaan Badahulu, daerah Danau Batur terkenal sebagai lokasi masyarakat Bali Aga; bahkan pada saat Majapahit menyerang kerajaan Badahulu, daerah tersebut sangat gencar melakukan perlawanan. Setelah Majapahit berhasil menundukkan raja terakhir Badahulu dan Gajah Mada mengirim Sri Kresna Kapakisan sebagai Raja di Badahulu yang baru, daerah Danau Batur terkenal sebagai salah satu pusat perlawanan terhadap kekuasaan Majapahit di Bali.
Pada saat sekarang, penduduk di Danau Batur di Desa Trunyan terkenal sebagai masyarakat Bali Aga. Mungkin yang melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Majapahit di Bali pada saat pemerintahan Sri Kresna Kapakisan adalah masyarakat Trunyan, karena pada saat sekarang daerah Danau Batur ada desa Trunyan yang merupakan masyarakat Bali Aga dan yang melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Majapahit juga adalah masyarakat Bali Aga. Bali Aga sendiri memiliki arti “penduduk asli Bali” atau “Bali pegunungan”. Penduduk Desa trunyan meyakini dirinya sebagai Bali turunan, sejak leluhur mereka turun dari langit ke bumi Trunyan. Nama Desa Trunyan juga bisa diartikan dengan pohon Tru Menyan yaitu pohon yang menyebarkan bau harum.
Desa Trunyan ini memiliki banyak keunikan. Salah satunya adalah kebiasaan penduduk setempat dalam menguburkan mayat. Masyarakat Desa Trunyan, tidak seperti penduduk Bali kebanyakan yang melakukan upacara ngaben dengan membakar mayat, meletakkan mayat  begitu saja di suatu tempat. Mayat-mayat tersebut dipagari ancak saji yang terbuat dari bambu berbentuk kerucut untuk menghindari serangan binatang buas. Peletakan mayat  tersebut hanya berlaku untuk mereka yang meninggalnya secara wajar. Sedangkan penduduk yang meninggal karena kecelakaan, bunuh diri, terdapat luka atau anak kecil yang belum tanggal gigi susunya, tetap dikubur seperti penguburan mayat pada umumnya.
Keberadaan Desa Tenganan dan Desa Trunyan sebagai sebuah desa adat berusaha melestarikan nilai-nilai leluhur Bali yang telah diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kedua desa tersebut, sebagai masyarakat Bali asli, sangat berbeda dengan masyarakat Bali pada umumnya, yaitu masyarakat Bali yang sudah terpengaruh pada saat Majapahit menguasai Bali.
Kini, antara Bali Aga dengan wong Majapahit hidup berdampingan, sama-sama menjaga nilai dan kepercayaan masing-masing. Mereka tinggal di Pulau Bali secara damai, tidak saling mencurigai, dan saling menghormati satu sama lain. Mereka berada dalam satu pulau dan satu negara, Indonesia
(Budaya, Ciri Khas, Identitas, Karakter,Tradisi.Tokoh,)


***) wacananusantara.org

0 komentar:

Posting Komentar