Jauh sebelum
terbentuknya masyarakat Bali keturunan Majapahit (Wong Majapahi), mereka
tinggal berkelompok-kelompok dengan pemimpinnya masing-masing.
Kelompok-kelompok inilah nantinya yang menjadi desa-desa di Bali; mereka adalah
orang Bali Aga yang dikenal dengan nama Pasek Bali
Masyarakat Bali
secara garis besar memiliki budaya, adat-istiadat, dan tradisi budaya yang
diwariskan secara turun temurun dari satu generasi kepada generasi berikutnya.
Sejak Kerajaan Majapahit berhasil menguasai Bali sekitar tahun 1343 M (walau
pun pada masa itu masyarakat Bali masih melakukan perlawanan kepada kekuasaan
Majapahit di Bali), begitu Negarakretagamamenyebutkan, bahwa Bali
merupakan negara bawahan Majapahit. Berikut kutipannya:
Di Hujung Medini,
Pahang yang disebut paling dahulu. Berikut Langkasuka, Saimwang, Kelantan serta
Trengganu Johor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang serta Kedah Jerai,
Kanjapiniran, semua sudah lama terhimpun. Di sebelah timur Jawa seperti yang
berikut: Bali dengan negara yang penting Badahulu dan Lo Gajah.
Berdasarkan
keterangan Negarakretagama kita bisa mengetahui bahwa Pulau Bali
dengan kerajaannya Badahulu pernah menjadi wilayah Kerajaan Majapahit. Akibat
dari penguasaan Majapahit atas pulau ini, dapat dirasakan sampai sekarang.
Dampak yang nyata terhadap struktur masyarakat Bali oleh Mapahahit saat
sekarang adalah terdapatnya dua golongan besar masyarakat Bali, yaitu
masyarakat Bali Aga merupakan masyarakat yang diperkirakan suku asli Pulau Bali
dan masyarakat yang berasal dari Majapahit (keturunan Masyarakat Majapahit/wong
Majapahit) (I Wayan Bawa, 1938: 394).
Masyarakat Bali Aga
adalah kelompok masyarakat yang mendiami wilayah pegunungan dan merupakan
masyarakat yang sulit ditundukkan pada saat Kerajaan Majapahit menguasai Bali.
Kesulitan Majapahit dalam menundukkan Bali karena mendapat perlawanan dari
masyarakat Bali Aga yang dapat dirasakan oleh Raja Sri Kresna Kapakisan,
yang ditempatkan oleh Gajah Mada untuk memerintah di Bali. Kerajaan yang
dipimpin oleh Raja Sri Kresna Kapakisan sering mendapat serangan dari
masyarakat Bali Aga yang berada di sekitar Danau Batur. Sebagai upaya untuk
meredam perlawanan tersebut akhirnya Majapahit mengirim Sri Aji Kresna
Kapakisan untuk mendampingi Raja Sri Kresna Kapakisan (patih). Berkat
bantuan Sri Aji Kresna Kapakisan yang berasal dari keturunan Bali,
akhirnya perlawanan dari masyarakat Bali Agak dapat diredakan (mungkin karena
pengaruh Sri Ari Aji Kapakisan berasal dari Bali).
Jauh sebelum
terbentuknya masyarakat Bali keturunan Majapahit (Wong Majapahi), masyarakat
Bali diperkirakan berasal dari keturunan “Austronesia”. Mereka tinggal
berkelompok-kelompok dengan pemimpinnya masing-masing. Kelompok-kelompok inilah
nantinya yang menjadi desa-desa di Bali; mereka adalah orang Bali Aga yang
dikenal dengan nama Pasek Bali. Bukti peninggalan masa berburu dan mengumpulkan
makanan tingkat sederhana ditemukan di Desa Sembiran dan pesisir timur serta
tenggara Danau Batur. Peninggalan-peninggalan itu berupa kapak perimbas, kapak
genggam, pahat genggam, dan serut (Soejono, 1962: 34-43; Heekeren, 1972: 46).
Wilayah sekitar Danau Batur ternyata sudah dihuni jauh sebelum masuknya
kekuasaan Majapahit di Bali, dan dijadikan sebagai salah satu pusat perlawanan
oleh masyakat Bali Aga kepada kekuasan Majapahit di Bali pada masa pemerintahan
Sri Kresna Kapakisan. Danau Batur mungkin dapat disebut sebagai salah satu
tempat kebudayaan dan berdiamnya masyarakat Bali Aga.
Sebelum masuknya
pengaruh Hindu-Buddha, masyarakat Bali masih menganut kepercayaan nenek moyang
yang mereka namakan Hyang. Menurut para ahli, kondisi spiritual masyarakat Bali
pada saat itu masih “kosong”. Keadaan yang demikan ini berlangsung hingga awal
tarikh Masehi, kurang lebih sekitar abad pertama Masehi. Dengan keadaan Bali
yang demikian maka mulailah berdatangan orang-orang dari luar Bali ke pulau
ini. Di samping untuk mengajarkan agama Hindu, mereka juga ingin “memajukan”
Bali dalam segala sektor kehidupan. Untuk hal tersebut datanglah seorang rsi ke
Bali bernama Maharsi Markandeya.
Menurut
sumber-sumber berupa lontar, sastra, dan purana, Maharsi Markandeya berasal
dari India. Seperti dinyatakan sebagai berikut dalam Markandeya Purana, “Sang
Yogi Markandeya kawit hana saking Hindu” (sang yogi Markandeya asal
mulanya adalah dari India). Berdasarkan data yang ditemukan bahwa nama
Markandeya diperkirakan bukan nama perorarangan, melainkan adalah nama
perguruan atau nama pasraman seperti halnya juga nama Agastya.
Perguruan atau pasraman adalah lembaga yang mempelajari dan mengembangkan
ajaran-ajaran dari guru-guru sebelumnya, tradisi yang diturunkan dari generasi
ke generasi untuk melanjutkan tradisi dari guru sebelumnya. Jadi sang Maharsi
Markandeya adalah seorang rsi dari garis perguruan yang namanya sama dengan
nama pendahulunya di India. Ia datang ke Indonesia untuk menyebarkan agama
Hindu, terutama paham Waisnawa (pemuja Wisnu).
Setibanya di
Nusantara, Maharsi Markandeya mendirikan mendirikan asrama di sekitar
Pegunungan Dieng Jawa Tengah. Setelah membuka asrama, akhirnya beliau
melanjutkan perjalanan ke timur, tepatnya ke Bali. Maharsi Markandeya kemudian
menamakan wilayah tersebut dengan nama Wasuki, kemudian berkembang menjadi nama
Basukian dan selanjutnya orang-orang menyebutnya Basuki, yang artinya
“keselamatan”. Hingga saat ini, tempat ini dikenal dengan nama Besakih dan
tempat beliau menanam panca datu akhirnya didirikan sebuah pura yang
diberi nama Pura Besakih. Dan Maharsi Markandeya mengganti nama Gunung
Tohlangkir dengan nama Gunung Agung. Tidak hanya itu saja, Maharsi Markandeya
akhirnya menamakan pulau ini dengan nama Wali yang berarti “persembahan” atau
“korban suci”, dan dikemudian hari dikenal dengan nama Bali Dwipa atau
sekarang dikenal dengan nama Bali, di mana semua orang akan selamat dan sejahtera
dengan melaksanakan persembahan yajna atau korban suci.
Orang-orang Aga,
murid-murid Maharsi Markandeya menetap di desa-desa yang dilalui oleh beliau.
Mereka membaur dengan orang-orang Bali lain, bertani dan bercocok tanam dengan
cara yang sangat teratur, menyelenggarakan yajna seperti yang di
ajarkan oleh Maharsi Markanadeya. Perjalanan sejarah yang begitu panjang,
terutama setelah masuknya kekuasaan Majapahit di Bali yang membawa pengaruh
baru, membuat masyarakat Bali Aga “semakin sedikit” bila dibandingkan dengan
masyarakat Bali wong Majapahit.
Masyarakat Bali Aga
yang sampai saat ini masih taat memegang adat dan istiadat terdapat di beberapa
desa dan salah satunya adalah Desa Tenganan. Berdasarkan beberapa penelitian,
masyarakat yang tinggal di Desa Tenganan adalah suku asli Bali yang tetap
mempertahankan pola hidup tradisional sampai saat ini. Ketaatan masyarakat pada
aturan tradisional desa yang diwariskan nenek moyang mereka secara turun
temurun menjadi sebuah benteng kokoh dari pengaruh luar.
Menurut beberapa
versi catatan sejarah dan penafsirannya, kata tenganan berasal dari kata tengahatau ngatengahan yang
memiliki arti “bergerak ke daerah yang lebih dalam”. Kata tersebut berhubungan
dengan pergerakan masyarakat desa dari pinggir pantai ke daerah pemukiman di
tengah perbukitan, yaitu Bukit Barat (Bukit Kauh) dan Bukit Timur (Bukit
Kangin).
Kehidupan sehari-hari
masyarakat Tenganan diatur oleh hukum adat yang disebut awig-awig. Hukum
adat tersebut diperkirakan ditulis pada abad ke-11 dan diperbaharui tahun 1842.
Rumah adat Tenganan dibangun dari campuran batu bata merah, batu kali, dan
tanah; atapnya terbuat dari tumpukan daun rumbia. Rumah-rumah tersebut memiliki
bentuk dan ukuran relatif sama, dengan ciri khas pintu masuk lebarnya berukuran
satu orang dewasa. Ciri khas lain adalah bagian atap pintu menyatu dengan atap
rumah.
Desa lainnya yang
terkenal sebagai salah satu masyarakat Bali Aga adalah masyarakat Desa Trunyan.
Desa Trunyan terletak di pinggir timur Danau Batur, letaknya cukup terpencil
karena hanya bisa ditempuh dengan menyeberangi Danau batur. Pada zaman Kerajaan
Badahulu, daerah Danau Batur terkenal sebagai lokasi masyarakat Bali Aga;
bahkan pada saat Majapahit menyerang kerajaan Badahulu, daerah tersebut sangat
gencar melakukan perlawanan. Setelah Majapahit berhasil menundukkan raja
terakhir Badahulu dan Gajah Mada mengirim Sri Kresna Kapakisan sebagai Raja di
Badahulu yang baru, daerah Danau Batur terkenal sebagai salah satu pusat
perlawanan terhadap kekuasaan Majapahit di Bali.
Pada saat sekarang,
penduduk di Danau Batur di Desa Trunyan terkenal sebagai masyarakat Bali Aga.
Mungkin yang melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Majapahit di Bali pada
saat pemerintahan Sri Kresna Kapakisan adalah masyarakat Trunyan, karena pada
saat sekarang daerah Danau Batur ada desa Trunyan yang merupakan masyarakat
Bali Aga dan yang melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Majapahit juga adalah
masyarakat Bali Aga. Bali Aga sendiri memiliki arti “penduduk asli Bali” atau
“Bali pegunungan”. Penduduk Desa trunyan meyakini dirinya sebagai Bali turunan,
sejak leluhur mereka turun dari langit ke bumi Trunyan. Nama Desa Trunyan juga
bisa diartikan dengan pohon Tru Menyan yaitu pohon yang menyebarkan bau harum.
Desa Trunyan ini
memiliki banyak keunikan. Salah satunya adalah kebiasaan penduduk setempat
dalam menguburkan mayat. Masyarakat Desa Trunyan, tidak seperti penduduk Bali
kebanyakan yang melakukan upacara ngaben dengan membakar mayat,
meletakkan mayat begitu saja di suatu tempat. Mayat-mayat tersebut
dipagari ancak saji yang terbuat dari bambu berbentuk kerucut untuk
menghindari serangan binatang buas. Peletakan mayat tersebut hanya
berlaku untuk mereka yang meninggalnya secara wajar. Sedangkan penduduk yang
meninggal karena kecelakaan, bunuh diri, terdapat luka atau anak kecil yang
belum tanggal gigi susunya, tetap dikubur seperti penguburan mayat pada
umumnya.
Keberadaan Desa
Tenganan dan Desa Trunyan sebagai sebuah desa adat berusaha melestarikan
nilai-nilai leluhur Bali yang telah diwariskan secara turun temurun dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Kedua desa tersebut, sebagai masyarakat Bali
asli, sangat berbeda dengan masyarakat Bali pada umumnya, yaitu masyarakat Bali
yang sudah terpengaruh pada saat Majapahit menguasai Bali.
Kini, antara Bali
Aga dengan wong Majapahit hidup berdampingan, sama-sama menjaga nilai dan
kepercayaan masing-masing. Mereka tinggal di Pulau Bali secara damai, tidak
saling mencurigai, dan saling menghormati satu sama lain. Mereka berada dalam
satu pulau dan satu negara, Indonesia
(Budaya, Ciri Khas, Identitas, Karakter,Tradisi.Tokoh,)
***) wacananusantara.org
0 komentar:
Posting Komentar