Sabtu, 14 Maret 2015

PERTUNANGAN TRADISI & ADAT TOLAKI, SULAWESI TENGGARA


Dalam perjalanan anak manusia di muka bumi, tatanan kehidupan masa lalu sepatutnya senantiasa menjadi pegangan. Menjadi penuntun agar terpeliharanya tataran budaya yang mengakar turun termurun sejak jaman nenek moyang. Di mana pun itu, di berbagai daerah yang ada di Indonesia, termasuk di Sulawesi Tenggara. Dalam mengemban kehidupan untuk memanjangkan keturunan dari generasi ke generasi, tahap demi tahap kegiatan dijalani sebagai suatu nilai sakral yang tidak boleh dilewatkan begitu saja, seperti dalam adat pertunangan dalam masyarakat Tolaki.
Pertunangan yang berlaku di masing-masing daerah di Nusantara tentu saja memiliki keunikan tersendiri serta tata cara yang beragam. Nilai keanekaragaman inilah yang senantiasa menambah kekhasan adat budaya yang ada di Indonesia.
Tolaki adalah salah satu suku di Sulawesi Tenggara. Suku ini mendiami daerah yang berada di sekitar Kabupaten Kendari dan Konawe. Selain Suku Buton dan Suku Muna, Suku Tolaki adalah salah satu suku dengan populasi terbesar yang ada di Provinsi Sulawesi Tenggara. Asal kata tolaki dipercaya berasal dari to “orang atau manusia”, laki ” laki-laki”, maka Tolaki sering dimaknai sebagai manusia yang memiliki kejantanan yang tinggi, berani dan menjunjung tinggi kehormatan dan harga diri.
Orang Tolaki pada mulanya menamakan dirinya Tolohianga (orang dari langit). Menurut Tarimana (1993), mungkin yang dimaksud “langit” adalah “kerajaan langit” sebagaimana dikenal dalam budaya Cina (Granat, dalam Needhan 1973 yang dikutip Tarimana). Dalam dugaannya, ada keterkaitan antara kata “hiu” yang dalam bahasa Cina berarti “langit” dengan kata “heo” (Tolaki) yang berarti “ikut pergi ke langit”.
Dalam kehidupan bermasyarakat, suku Tolaki memiliki nilai-nilai luhur yang dituangkan dalam keseharian mereka dan menjadi pegangan dalam kehidupan bermasyarakat. Ada pun falsafah kebudayaan masyarakat Tolaki dituangkan dalam sebuah istilah atau perumpamaan, di antaranya:
1.  Budaya O’sara, budaya patuh dan setia terhadap putusan lembaga adat;
2.  Budaya Kohanu, budaya malu;
3.  Budaya Merou, paham sopan santun dan tata pergaulan.
Nilai-nilai luhur tersebut bisa dililhat dalam salah satu proses daur hidup Suku Tolaki; Perkawinan. Sehingga sebelum sampai pada masa perkawinan/pernikahan (dalam adat masyarakt Tolaki disebut prosesi Mowindahako), terlebih dahulu menjalani berbagai prosesi, salah satu bagian terpentingnya adalah tahap pertunangan, peminangan atau Mowawo Niwule.
Sehingga dalam tradisi perkawinan Masyarakat Tolaki, mengharuskan adanya hubungan yang baik antara pihak laki-laki dan perempuan dalam menentukan arahan bagi masa depan kedua mempelai. Sebagai bukti, nilai mahar yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki kepada keluarga perempuan pada saat pertunangan dan perkawinan merupakan buah dari kesepakatan yang  terlebih dahulu dirundingkan.
Sebelum perkawinan, seorang pemuda calon mempelai harus terlebih dahulu melayani dan menjalani masa percobaan dengan calon mertuanya. Persyaratan ini merupakan syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh pihak laki-laki kepada perempuan sebagai bagian dari prosesi pertunangan.
Pertunangan pada adat masyarakat Tolaki berlaku sejak lamaran diterima. Umumnya, pertunangan terjadi karena anak perempuan yang dimaksud belum dewasa, sehingga harus menunggu hingga dewasa. Itulah kenapa masyarakat Tolaki mengenal dan kadang melaksanakan prosesi pertunangan untuk menunggu sampai salah satunya benar-benar dewasa.
Dalam adat masyarakat Tolaki, pertunangan merupakan proses pembelajaran dan pelatihan bagi mempelai pria agar memiliki sikap kedewasaan. Dan ini benar-benar diutamakan. Berbagai hal yang menyangkut kehidupan berkeluarga diberikan sebagai pembekalan, supaya saat memasuki kehidupan keluarga baru nantinya, keduanya sudah benar-benar dewasa dalam menghadapi berbagai masalah dan lika-liku kehidupan.
Jadi, masa pertunangan bagi calon suami perempuan merupakan kewajiban sebagai proses pembelajaran untuk dapat memberikan nafkah lahiriah seperti makan dan lain-lain. Sehingga mengabdi kepada orang tua perempuan selama masa pertunangan merupakan keharusan tersendiri. Sebagai masa ujian atau rujukan penilaian pihak perempuan sebelum menyerahkan anak gadis mereka pada laki-laki tersebut. Salah satu contohnya: ikut bersama-sama membuka lahan pertanian atau pekebunan dengan proses pembelajaran dalam tahap pertunangan bagi calon mempelai pria akan berlangsung hingga setelah panen.
Masyarakat Tolaki umumnya merupakan peladang dan petani yang handal. Bagi orang Tolaki, padi-padian yang tumbuh di ladang menjadi makanan pokok; akan tetapi mereka juga menanam ubi jalar, tebu, aneka macam sayuran, tembakau, dan kopi.
Model pertunangan pada adat masyarakat Tolaki sedikitnya memiliki kemiripan dengan model pertunangan yang terdapat pada adat pertunangan suku Muli yaitu adat paniwih. Perbedaannya adalah saat pertunangan pada adat Tolaki ketika sudah cukup waktunya untuk menikah yang dinyatakan oleh pihak perempuan, dengan kriteria sudah cukup dewasa bagi keduanya dan cukup beras untuk pesta makan, maka pernikahan akan segera dilaksanakan. Hal ini dapat juga kita kaitkan dengan ungkapan klasik dari masyarakat Tolaki yang berpandangan “lebih mudah menjaga 40 ekor kerbau dari pada menjaga seorang anak gadis”. Tentunya ini merupakan hal yang telah diatur sedemikian rupa, di samping mengindahkan ungkapan tersebut.
Penyelenggaraan prosesi pernikahan/perkawinan pada umumnya dapat dipercepat. Namun, diperlukan kesiapan pihak laki-laki. Dan pihak perempuan akan memberikan kesempatan seluas-luasnya pada pihak laki-laki untuk mempersiapkan persyaratan atau pun hasil kesepakatan yang telah disetujui sebelumnya. Baik berkenaan dengan nilai mahar maupun penyelenggaraan pesta. Akan tetapi, syarat yang paling utama adalah pria tersebut sudah cukup dewasa. Pada dasarnya terlaksananya perkawinan secara sempurna, kedua belah pihak harus sudah siap untuk menyelenggarakan pesta sehingga dapat dihindari terjadinya kekurangan biaya atau dalam ungkapan adat Tolaki disebut salabao.
Pesta pertunangan bagi masyarakat yang berdiam di Nusantara merupakan gambaran kehidupan masyarakat yang masih syarat dengan nilai sosial, kebersamaan, dan nilai sejarah. Berbagai persiapan serta makna-makna kegiatan dilaksanakan dengan maksud untuk menyiapkan kedua pengantin memasuki bahtera rumah tangga.

Tradisi pertunangan dalam masyarakat Tolaki sudah dilaksanakan secara berkesinambungan dari satu generasi ke generasi seterusnya. Kini kehidupan terus mengalami kemajuan dengan segala bentuk perubahan yang kian menghampiri kehidupan manusia zaman sekarang ini. Tapi dengan upaya pelestarian nilai-nilai kehidupan yang ada kiranya hal tersebut seharusnya tidak terkikis dan hilang seiring gilasan roda kebudayaan modern. Sebagai jalan keluarnya, kepedulian dan perhatian kita semua harus lebih ditingkatkan terhadap adat dan budaya yang memiliki kebermanfaatan yang luar biasa. Agar kita tetap menjadi bangsa yang besar dengan jati diri yang tetap mengakar dari budaya kita sendiri.   (Budaya, Ciri Khas, Tradisi, upacara adat,  Adat)

0 komentar:

Posting Komentar