Minggu, 15 Maret 2015

UPACARA TARIK BATU DI TANA TORAJA


Masyarakat Tana Toraja , upacara tarik batu sebagai bagian dari tradisi menghormati leluhur. Di Tana Toraja, obyek megalitik yang ditarik adalah batu monolit calon sebuah menhir, yang didirikan sebagai representasi (simbol) si mati.
Bahan batu diperoleh dengan cara penggalian di tempat tertentu di Tana Toraja dan Sumba Barat, yang memang kaya akan berbagai jenis batuan. Setelah menemukan sumber batuan yang tepat, beberapa pekerja akan menatah dan memahat batu tersebut di tempat aslinya sesuai dengan bentuk yang diinginkan. Pemahatan sebuah batu menjadi menhir di Tana Toraja relatif lebih sederhana dibanding pemahatan sebuah batu kubur di Sumba Barat yang bisa memakan proses berbulan-bulan sampai membentuk batu kubur yang indah. Lamanya pengerjaan memahat menhir maupun batu kubur tergantung besar kecilnya ukuran dan pola hiasnya. Setelah pembuatan menhir atau kubur batu selesai, langkah selanjutnya adalah penarikan batu dari lokasi asal menuju rante di Tana Toraja.
Prosesi penarikan menhir maupun kubur batu dari tempat asal menuju lokasi baru merupakan fenomena yang sangat menarik. Ratusan atau bahkan ribuan orang bekerja secara gotong royong menarik batu yang beratnya bisa mencapai puluhan ton. Mereka bekerja tanpa imbalan uang, namun penyelenggara upacara berkewajiban menyediakan konsumsi makanan selama upacara berlangsung dan menyediakan hadiah daging bagi para penarik batu.
Tarik batu di Tana Toraja
Orang Toraja percaya, bahwa sebelum resmi dimakamkan, orang yang telah meninggal dianggap sakit dan dibaringkan dalam tempat tidur. Jenazah kemudian disuntik formalin agar tidak membusuk, dimasukkan dalam peti mati dan disimpan di kamar. Setelah beberapa waktu, jenazah baru “dikuburkan”. Upacara penguburan, yang disebut rambu solok merupakan hal yang sangat penting dalam siklus kehidupan warga Toraja yang terkesan mewah dan eksotis. Solok memiliki arti harafiah matahari yang condong ke barat. Hal ini berarti, upacara rambu solok hanya boleh dilaksanakan setelah jam duabelas siang, saat matahari mulai condong ke barat, sebagai lambang dari kematian. Orang Toraja menganggap, seseorang telah benar-benar meninggal apabila telah dilaksanakan upacara rambu solok untuk menyempurnakan perjalanan arwah si mati ke alam baka yang kekal.
Batu yang tinggi dan panjang dari pegunungan di Tana Toraja, adalah batu yang cocok dibuat menhir. Sekali batu dipilih, keramatpun segera masuk ke dalamnya. Ada batu yang secara alami langsung dijadikan menhir tanpa proses lanjut, namun ada juga yang harus dipahat dan dihaluskan di lokasi asal sebelum ditarik ke rante. Saat upacara tarik batu (meriuk batu) hampir seluruh kerabat dan warga desa terlibat dalam acara tarik batu yang dipimpin oleh seorang pemangku adat. Kerbau pun segera disembelih, darahnya ditampung pada bambu, dan dipercikkan pada batu yang akan ditarik. Ini adalah simbol meminta ijin pada roh sang penguasa batu sekaligus memberi “jiwa” pada batu, agar batu dapat ditarik dengan lancar.
Diletakkan di atas landasan kayu yang bergulir, prosesi pendirian menhirpun segera dimulai. Batu kemudian ditarik para lelaki secara bergantian, dalam formasi barisan. Jumlah penarik batu tergantung ukuran batu, semakin besar dan berat batu yang ditarik, semakin banyak pula jumlah tenaga yang dibutuhkan. Sepanjang perjalanan, iring-iringan penarik batu meneriakkan yel-yel pembangkit semangat yang biasanya berupa nyanyian atau syair-syair. Para wanita mengiringi rombongan penarik batu sambil membagikan minuman dan makanan kecil.
Sebagai gambaran, tarik batu menhir berukuran kecil yang berbobot kurang dari 3 ton dapat dilakukan oleh sekitar dua ratus orang dalam waktu 2 jam sejauh 3 km. Sesampainya menhir di rante, batu kemudian ditanam secara berdiri. Pemimpin upacara melayangkan doa dan meresmikan batu tersebut sebagai menhir (simbuang) orang yang diupacarakan. Sang pendiri akan kekal menyatu dengan menhir. Keberadaan menhir simbuang sangat penting dalam suatu proses daur hidup manusia Toraja dan merupakan simbol status sosial, yang jelas menunjukkan kelas bangsawan orang yang mendirikan dan memiliki menhir tersebut. Batu tegak itu adalah pesan leluhur kepada para keturunannya di Tanah Toraja, bumi sang orang-orang gunung, yang akan tetap hidup subur di setiap sanubari.

Dalam suatu kepercayaan Toraja, tidak jarang orang yang masih hidup sudah memilih batu untuk dijadikan menhir pada saat upacara penguburannya, karena dia menginginkan menhir terbaik yang dapat merefleksikan dirinya. Berbeda dari daerah Sumba Barat, acara pembagian daging di Toraja dilakukan sebelum acara tarik batu. Dari bala’kaan, Tominaa membagi daging secara tradisional yang merupakan simbol penegasan hubungan darah. Sehingga tujuan pembagian daging adalah untuk mempertegas silsilah atau memperkenalkan hubungan kekerabatan atau mengingatkan asal dan ikatan kekeluargaan mereka.    (upacara adat, Budaya, Ciri Khas, Karakter. Tradisi)

0 komentar:

Posting Komentar