Di Sumba Barat, persiapan upacara tarik batu dilakukan
lebih rumit dan memerlukan persiapan matang karena obyek yang ditarik adalah
batu kubur yang berukuran besar dan sangat berat. Di lokasi asal batu, beberapa
tukang kayu yang dalam istilah lokal disebut monipelu membuat kuda-kuda (tenan)
berupa dua gelondong kayu bulat utuh yang ukurannya disesuaikan dengan batu
yang akan ditarik. Kedua ujung kayu disatukan dan dibentuk menyerupai kepala
kuda. Walaupun tenan berbentuk kepala kuda, namun secara simbolis tenan
melambangkan perahu sebagai kendaraan yang akan membawa kubur batu. Bahan kayu
yang digunakan terbuat dari kayu kameti yang bersifat lentur dan tidak mudah
patah.
Di atas tenan diberi kerangka kayu berbentuk empat
persegi panjang mengelilingi batu, sebagai tempat pegangan paaung watu dan
untuk meletakkan paji dan bendera. Paji adalah bentangan kain berwarna putih,
sedangkan bendera (regi khobu) berupa kain-kain tenun motif asli Sumba yang
merupakan sumbangan dari para kerabat. Paji dan bendera memiliki makna untuk ”memayungi”
kubur agar selalu dingin dan teduh. Di Sumba, sesaat sebelum acara tarik batu
dimulai, pemimpin proses tarik batu (paaung watu), memberikan santan kelapa
(way malala) yang dipercikkan ke batu, sebagai simbol penyucian batu agar batu
lebih mudah untuk ditarik. Di atas batu juga disiapkan gong (katala) dan beduk
(laba) sebagai alat musik untuk memberikan semangat kepada para penarik batu.
Saat penarikan batu, sebagai alas digunakan balok-balok kayu bulat yang disebut
kalang sebagai landasan yang berfungsi sebagai roda. Kayu-kayu bulat dengan
diameter bervariasi tapi memiliki panjang rata-rata empat meter diletakkan di
sepanjang jalan yang akan dilalui batu. Alas kayu itu tidak harus menutupi
seluruh jalan, karena kayu yang telah dilalui akan diambil dan dipasang kembali
di depan hingga batu mencapai tempat pendirian kubur.
Tali untuk menarik batu umumnya terdiri dari 10 buah
dengan tiga jenis bahan yakni tali plastik (tambang), tali dari sulur pohon
tuba (tuwa) dan rotan (uwi). Masing-masing tali ditarik oleh 50-100 orang,
sehingga total penarik batu setidaknya melibatkan ratusan orang. Apabila
dihitung dengan orang-orang lain yang bergantian menarik, setidaknya sebuah
upacara tarik batu besar diikuti oleh seribu orang. Masing-masing tali memiliki
fungsi, tali yang berada di ujung luar sebelah kanan atau kiri berfungsi
sebagai kemudi untuk mengatur arah batu, sementara tali lain berfungsi untuk
menarik batu.
Peran paaung watu sangat dominan, karena bertugas
mengatur jalannya upacara sambil senantiasa meneriakkan kata hutaya (semangat)
setiap saat. Terkadang untuk membangkitkan tenaga, dia meneriakkan kata
sindiran seperti mangumammi (perempuan kamu!), yang dijawab spontan oleh massa,
sambil mengerahkan segenap tenaga untuk menarik batu, dengan teriakan munima
(kami laki-laki!). Paaung watu adalah sang pemimpin dan salah satu peletak
sukses dalam upacara tarik batu, oleh karenanya, dia harus memiliki kemampuan
untuk mengatur dan memberi semangat kepada massa penarik batu yang jumlahnya
ribuan. Di sepanjang jalan yang dilalui tersedia kendaraan yang membawa air
minum kemasan maupun air minum yang berasal dari mata air. Secara berkala
mereka juga disiram air untuk menghindari dehidrasi, karena panas matahari di
daerah Sumba Barat sangat terik.
Dalam perjalanan menuju rumah si pemilik batu, tidak
selamanya tarik batu berjalan lancar. Terkadang massa tidak dapat selalu
diarahkan sehingga arah batu menjadi melenceng bahkan tidak jarang batu bisa
miring atau terbalik. Belum lagi halangan lain berupa rusaknya tenan atau
kayu-kayu kalang karena tidak kuat menahan beban batu. Jika halangan tersebut
dirasa sangat mengganggu sehingga tidak bisa dilanjutkan, maka acara tarik batu
akan ditunda pada hari lain. Hal ini sangat merepotkan karena sulit sekali
mengumpulkan ratusan atau ribuan orang dalam hari yang sama.
Jika perjalanan tarik batu lancar, sebuah kubur batu
berbobot 12 ton dapat ditarik seribu orang dalam waktu tujuh jam, dalam jarak
2,2 kilometer. Setelah batu kubur berada di depan rumah si pemilik, acara selanjutnya
menerima secara resmi sumbangan hewan-hewan dari para kerabat yang umumnya
berupa kerbau dan babi. Jika kerbau dan babi yang disumbangkan berjenis kelamin
jantan, maka para penerima tamu akan membunyikan alat musik secara
bertalu-talu. Sebaliknya jika hewan yang disumbangkan berjenis kelamin betina,
alat musik tidak dibunyikan.
Setelah dilakukan pencatatan terhadap semua sumbangan
yang diterima, acara berikutnya adalah kelar lima, yakni pembagian daging hewan
kepada seluruh masyarakat yang telah bergotong royong menarik batu. Secara
harfiah kelar lima memiliki makna : membersihkan tangan yang luka karena
menarik batu. Acara kelar lima diadakan oleh keluarga sebagai ungkapan terima
kasih kepada setiap orang yang telah terlibat secara aktif pada acara tarik
batu. Berbeda dengan daerah lain, pemotongan hewan di Sumba dilakukan dengan
cara ditikam dengan tombak dan kemudian tombaknya dilepaskan. Dari leher
binatang tersebut akan menetes darah sampai binatang tersebut tergelepar mati
kekurangan darah.
Pemilik acara juga wajib menyediakan makanan untuk
segenap penarik batu dan tamu-tamu yang hadir menyaksikan acara tarik batu.
Menu utama adalah nasi dan daging babi atau kerbau. Setelah acara tarik batu
selesai, belum berarti ritual persiapan kubur selesai. Pada umumnya, saat
ditarik, kubur batu belum diberi lubang jenazah dan belum dipasang kaki-kaki
kubur jika batu kubur berbentuk watu pawesi. Lubang jenazah baru akan dibuat
beberapa bulan setelah acara tarik batu selesai. Biasanya pada saat itu sekaligus
didirikan kaki-kaki batu untuk menyangga kubur utama. Pekerjaan selanjutnya
adalah memberikan hiasan berupa menhir (kaduwatu) dan memahat pola hias sesuai
yang dikehendaki.
Bagi orang Sumba, menyiapkan kubur batu sebagai tempat
peristirahatan terakhir merupakan satu kebutuhan. Sungguh merupakan satu
kebahagiaan yang sempurna, jika pada saat hidupnya, orang Sumba melihat secara
langsung persiapan dan pembuatan makam sebagai tempat istirahat abadinya kelak.
Sebuah kubur batu yang megah dipercaya menjadi semacam kendaraan yang akan
mengantar si mati ke dunia yang kekal. Melihat sebuah kubur yang kelak akan
dipakai sebagai tempat jenazahnya, mendatangkan rasa nyaman dan prestise
tersendiri, terlebih jika kubur tersebut terbuat dari monolith besar yang untuk
menarik dan membuatnya menjadi kubur memerlukan biaya yang sangat besar. (Adat, Budaya, Cirikhas,Tradisi, upacara adat)
0 komentar:
Posting Komentar