Banyak cara yang dilakukan oleh masyarakat khususnya yang
mendiami beberapa daerah di Indonesia sebagai wujud rasa syukur, lantaran telah
diberikan keselamatan dan kesejahteraan dengan melimpahnya hasil panen. Di
Banyuwangi ini ada suku yang memiliki kesenian unik, yaitu Suku Using.
Masyarakat Using adalah keturunan Kerajaan Blambangan, mereka yang memiliki
kesenian Kebo-Keboan yang merupakan suatu permohonan kepada Tuhan agar panen
mereka subur dan dijauhi dari malapetaka. Riitual upacara adat “kebo-kebo”-an
di Desa Alasmalang, Kec. Singojuruh-Banyuwangi itu diperkirakan muncul sekitar
abad ke-18 Masehi. Dikisahkan, pada saat itu masyarakat Desa Alasmalang dilanda
musibah brindeng atau pagebluk (wabah penyakit) yang berkepanjangan. Yakni,
jenis penyakit yang sangat menakutkan dan sulit diketemukan obatnya. Karena,
bagi yang terkena pagi maka sore harinya akan mati, jika malam kena, paginya
akan mati, begitulah seterusnya.
Ada pun tahapan dalam upacara tersebut terbagi menjadi
beberapa tahapan. Di antaranya, tujuh hari sebelum pelaksanaan, sang pawang
melakukan meditasi di beberapa tempat yang dianggap keramat. Yaitu, di Watu
Loso, -sebuah batu yang berbentuk seperti tikar,- Watu Gajah, -batu yang
berbentuk seperti gajah,- dan Watu Tumpeng, -batu yang berbentuk seperti
tumpeng,-.
Dan yang paling dikhawatirkan adalah di Watu Loso. Karena di tempat yang merupakan tempat Mbah Buyut Karti dimakamkan, pun dalam melakukan meditasi di tempat tersebut diperlukan semacam kekuatan ekstra untuk berkomunikasi di tempat tersebut. Dan pawang yang bertugas menangani upacara ritual tersebut sebanyak 5-6 pawang yang bertugas secara bergantian setiap tahunnya. Dan para pawang itu pun harus keturunan dari Mbah Buyut Karti.
Acara puncaknya dilaksanakan setiap pada 10 Syuro. Yakni, selamatan di empat penjuru pojok desa, selamatan tumpeng di perempatan jalan di Dsn. Krajan, Alasmalang secara bersama-sama, ider bumi, dan puncaknya yaitu waktu goyangan. Dan semua tahapan itu harus merupakan kesatuan utuh yang tidak boleh ditinggalkan.
Menurut salah satu generasi ke-4 dari keturunan Mbah Buyut Karti, Drs. Subur Bahri, Msi, tujuan upacara ritual adat itu adalah untuk menolak balak (berbagai macam penyakit) sekaligus sebagai rasa terima kasih masyarakat dengan memanjatkan doa kepada Sang Maha Pencipta agar poses pertanian cepat menghasilkan hasil panen sebagaimana yang diharapkan.
Keberadaan Tradisi Kebo-keboan Desa Alasmalang Kecamatan Singojuruh Banyuwangi, tiap tahun selalu menyedot perhatian khalayak. bukan hanya masyarakat Banyuwangi sekitarnya, namun juga dari luar Banyuwangi. (Adat, Budaya, Cirikhas, upacara adat.Tradisi, upacara adat)
Dan yang paling dikhawatirkan adalah di Watu Loso. Karena di tempat yang merupakan tempat Mbah Buyut Karti dimakamkan, pun dalam melakukan meditasi di tempat tersebut diperlukan semacam kekuatan ekstra untuk berkomunikasi di tempat tersebut. Dan pawang yang bertugas menangani upacara ritual tersebut sebanyak 5-6 pawang yang bertugas secara bergantian setiap tahunnya. Dan para pawang itu pun harus keturunan dari Mbah Buyut Karti.
Acara puncaknya dilaksanakan setiap pada 10 Syuro. Yakni, selamatan di empat penjuru pojok desa, selamatan tumpeng di perempatan jalan di Dsn. Krajan, Alasmalang secara bersama-sama, ider bumi, dan puncaknya yaitu waktu goyangan. Dan semua tahapan itu harus merupakan kesatuan utuh yang tidak boleh ditinggalkan.
Menurut salah satu generasi ke-4 dari keturunan Mbah Buyut Karti, Drs. Subur Bahri, Msi, tujuan upacara ritual adat itu adalah untuk menolak balak (berbagai macam penyakit) sekaligus sebagai rasa terima kasih masyarakat dengan memanjatkan doa kepada Sang Maha Pencipta agar poses pertanian cepat menghasilkan hasil panen sebagaimana yang diharapkan.
Keberadaan Tradisi Kebo-keboan Desa Alasmalang Kecamatan Singojuruh Banyuwangi, tiap tahun selalu menyedot perhatian khalayak. bukan hanya masyarakat Banyuwangi sekitarnya, namun juga dari luar Banyuwangi. (Adat, Budaya, Cirikhas, upacara adat.Tradisi, upacara adat)
***)berbagai sumber
0 komentar:
Posting Komentar