Gorontalo tergolong provinsi muda di Indonesia. Ia berada di urutan ke 32. Sebelumnya, ia masuk ke dalam wilayah Provinsi Sulawesi Utara. Oleh karena beberapa hal yang penting, pada tahun 2000, Gorontalo pun resmi menjadi wilayah mandiri. Jika didasarkan pada sejarah, Gorontalo termasuk kota tua di jazirah Sulawesi. Ia seusia dengan kota seperti Makassar, Manado juga Pare-pare. Di masa kejayaannya, Gorontalo parnah menjadi pusat kebudayaan agama Islam di wilayah Indonesia timur. Hal ini yang menjadikan kebudayaan di Gorontalo begitu kaya. Salah satu bukti kekayaan tersebut terlihat pada rumah tradisionalnya. Pada dasarnya rumah adat Gorontalo ada dua yakni Doluhapa dan juga bandayo pomboide.
Rumah Adat Doluhapa
Dalam bahasa masyarakat setempat, Doluhapa dikenal dengan nama Hulondohalo. Dalam artian harfiah, Doluhapa sendiri bermakna mufakat. Pemberian nama Doluhapa sebagai rumah adat Gorontalo bukan tanpa sebab. Memang bangunan ini difungsikan sebagai tempat untuk bermusyawarah. Bahkan di masa pemerintahan raja-raja, Doluhapa difungsikan sebagai ruang pengadilan, tempat unutk mengvonis penghianat dengan 3 aturan yakni:
Alur pertahanan atau keamanan, disebut juga Buwatulo Bala.
Alur hukum agama islam, disebut pula Buwatulo Syara.
Alur Hukum adat, disebut pula Buwatulo Adati.
Jika merunut pada kebiasaan masyarakat dewasa ini, fungsi Doluhapa telah bergerser sedikit. Kini, rumah cantik yang satu ini juga digunakan sebagai tempat untuk melaksanakan upacara pernikahan serta upacara adat lainnya.
Secara fisik, rumah adat Doluhapa ini memiliki bentuk seperti rumah panggung lainnya. Ia dilengkapi dengan pilar kayu yang dihias sedemikian rupa. Sebagaimana rumah lainnya, Doluhapa juga dibagi ke dalam beberapa bagian ruamah, antara lain:
Bagian atap yang umumnya terbuat dari jerami berkualitas.
Di bagian dalam rumah, tidak terdapat sekat yang banyak. Jadi, ruangan dalamnya terbilang lowong.
Di setiap rumah Doluhapa umumnya terdapat anjungan yang diperuntukkan bagi raja dan kerabat istana.
Bagian khas dari Doluhapa adalah tangga depannya yang ada di masing-masing sisi, kanan dan kiri. Tangga ini dikenal juga dengan nama Tolitihu.
Rumah Adat Bandayo Pamboide
Rumah adat Gorontalo yang satu ini bisa dijumpai berdiri gagah di depan rumah dinas Bupati Gorontalo. Dalam artian harfiah, kata Bandayo berarti gedung atau juga bisa diartikan sebagai bangunan. Sementara kata Pomboide atau Po Boide berarti sebagai tempat untuk bermusyawarah. Jadi, meski merupakan dua bangunan berbeda, namun Doluhapa dan Bandayo Pomboide memiliki fungsi yang kurang lebih sama. Dahulu, Bandayo Pomboide ini digunakan sebagai tempat pelaksanaan pagelaran budaya khas Gorontalo. Berbeda dari Doluhapa, bagian dalam si Bandayo Pomboide ini memiliki banyak sekat sehingga ada beragam ruangan dengan fungsi yang juga beragam.
Jika dicermati secara keseluruhan, arsitektur rumah adat Gorontalo ini (baik rumah adat Doluhapa dan juga Bandayo Pomboide) banyak dipengaruhi kebudayaan Islam yang memang tumbuh dan mengakar kuat di wilayah Gorontalo dahulu kala. (Rumah adat, Budaya, Cirikhas,Tradisi.)
0 komentar:
Posting Komentar