Kolintang merupakan alat musik khas dari Minahasa, Sulawesi Utara, Indonesia. Kolintang terbuat dari bahan dasar kayu, seperti kayu telur, bandaran, wenang, kakinik atau sejenisnya (jenis kayu yang agak ringan tapi cukup padat dan serat kayunya tersusun sedemikian rupa membentuk garis-garis sejajar). Bila dipukul kolintang dapat mengeluarkan bunyi yang rentang suara yang panjang, dapat mencapai nada-nada tinggi (high pitch note) maupun rendah (low pitch note).
Alat musik merdu yang tumbuh dan berkembang di Minahasa, Sulawesi Utara tersebut, berhasil dicatatkan ke dalam buku rekor dunia, The Guiness Book World of Records. Pada hari Sabtu (31/10.2009) lalu, musik kolintang beserta musik bambu lainnya dimainkan secara massal oleh lebih dari 3000 orang di Stadion Maesa, Tondano, Sulawesi Utara. Selain pertunjukan musik massal, juga dipamerkan perangkat kolintang dan musik bambu yang berukuran raksasa.
Sertifikat pengakuan dari Guiness World Records (GWR) diserahkan oleh perwakilan lembaga tersebut, Lucia Sinigagliesi, kepada penyelenggara acara, Benny J Mamoto, Direktur Institut Seni Budaya Sulawesi Utara. Sertifikat selanjutnya diserahkan kepada Bupati Minahasa, Vreeke Runtu. Di dalam acara tersebut, Lucia Sinigagliesi mengungkapkan, hasil penelitian tim GWR yang berkantor di London, Inggris, menunjukkan bahwa instrumen, melodi, dan irama kolintang dan musik bambu di Indonesia belum ada yang menyamai di dunia. GWR mencatat kolintang dan musik bambu sebagai wujud seni tradisi yang menakjubkan dunia.
Alat musik khas Minahasa yang dalam dunia musik termasuk jenis xilofon kayu itu pada awalnya hanya terdiri dari beberapa potong kayu yang diletakkan berjejer di atas kedua kaki pemainnya dengan posisi duduk di tanah, dengan kedua kaki terbujur lurus ke depan. Dengan berjalannya waktu, kedua kaki pemain diganti dengan dua batang pisang, atau kadang-ladang diganti dengan tali, mirip alat musik arumba di Jawa Barat.
Penggunaan peti resonator seperti penampilan kolintang saat ini baru dimulai sekitar tahun 1830 saat Pangeran Diponegoro dibuang ke Minahasa. Konon, ketika dibuang ke Minahasa, Pangeran Diponegoro dan pengikutnya membawa serta perangkat alat musik gamelan, lengkap dengan gambangnya. Perangkat alat musik itu ditempatkan di kotak resonator. Hal itulah yang menginspirasi orang Minahasa untuk membuat kotak resonator bagi peralatan musik kolintang mereka.
Sesudah Perang Dunia II, barulah kolintang muncul kembali yang dipelopori oleh Nelwan Katuuk (seorang yang menyusun nada kolintang menurut susunan nada musik universal). Pada mulanya hanya terdiri dari satu Melody dengan susunan nada diatonis, dengan jarak nada 2 oktaf, dan sebagai pengiring dipakai alat-alat “string” seperti gitar, ukulele dan stringbas.
Tahun 1954 kolintang sudah dibuat 2 ½ oktaf (masih diatonis). Pada tahun 1960 sudah mencapai 3 ½ oktaf dengan nada 1 kruis, naturel, dan 1 mol. Dasar nada masih terbatas pada tiga kunci (Naturel, 1 mol, dan 1 kruis) dengan jarak nada 4 ½ oktaf dari F s./d. C. Dan pengembangan musik kolintang tetap berlangsung baik kualitas alat, perluasan jarak nada, bentuk peti resonator (untuk memperbaiki suara), maupun penampilan.
Saat ini Kolintang yang dibuat sudah mencapai 6 (enam) oktaf dengan chromatisch penuh.
Demikian pula dengan teknik memukulkan stick pada bilah kolintang. Karena sesuai irama yang beraneka ragam, maka untuk menghasilkan irama tertentu maka teknik memukulkan stik pada tiap alat pun berbeda beda. Pada materi ini, diberikan teknik teknik dasar cara memukulkan stick pada kolintang. Untuk dapat memahami teknik, dibutuhkan pengetahuan akan harga dan jumlah ketukan dalam setiap bar nada. Dan berbekal pengetahuan dasar dasar bermain kolintang ini saja, ditambah dengan bakat individu, maka grup/ kelompok musik kolintang telah dapat memainkan berbagai jenis lagu dengan tingkat kesulitan yang variatif secara spontan.
(Adat, Budaya, Ciri Khas, Karakter. Tradisi, Kesenian, )
***)berbagai sumber
Kamis, 02 April 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar